Mandar merupakan satu kesatuan suku
dan budaya rumpun manusia yang hidup mendiami kawasan Pitu Ulunna Salu
(PUS) dan Pitu Baqbana Binanga (PBB) ditambah
wilayahTiparittiqna Uhai atau daerah Lembang cMapi.
Manusia pertama yang berkembang di
Mandar berasal darihulu sungai Saqdang yang muncul sesudah
terjadinya banjir besar. Cikal bakal nenek moyang orang Mandar ini dikenal
keberadaannya dengan istilah manusia tujuh karena terdiri dari
tujuh orang. Ada yang mengatakan bahwa tujuh orang ini bersaudara, namun ada
juga pendapat yang mengatakan tidak. Bagi penulis sendiri, menilai bahwa mereka
tidak bersaudara dan bahkan tidak saling mengenal karena mereka hanya merupakan
korban banjir yang terseret air sampai ke wilayah Mandar.
Ketujuh manusia itu adalah ; Talombeng
susu, Talando Beluhe, Padorang, Talambeq Kuntuq, Pongka Padang, Sawerigading
dan Tanriabeng. Mereka kemudian menyebar mengembangkan kehidupan
masing-masing yaitu ; Talombeng Susu ke Luwu, Talando Beluha ke Bone, Padorang
ke Belau (Belawa ?), Talambeq Kuntuq ke Lariang, Pongka Padang ke Tabilahan
(Tabulahang ?), Sawerigading dan Tanriabeng pergi berlayar entah kemana.
Menurut Sengo-sengo kada adaq
(pengungkapan sejarah melalui lagu) oleh nenek Tolleng, Puaq Belu dan Daeng
Marrota dari Pitu Ulunna salu menggambarkan bahwa Pongka Padang yang tinggal
dan menjadi nenek moyang orang Mandar, baik di Pitu Ulunna Salu maupun di Pitu
Baqbana Binanga karena manusia yang berkembang di Pitu Baqbana Binanga adalah
salah satu keturunan anak dari Pongka Padang yang berjumlah sebelas orang.
Persepsi tentang Mandar adalah nama
satu kerajaan, merupakan persepsi yang keliru karena sepanjang sejarah tidak
pernah ada kerajaan Mandar yang rajanya disebut raja Mandar dan
wilayah kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Mandar. Yang ada adalah
raja-raja di Mandar yang berdaulat dan berkuasa penuh di
wilayah kerajaannya masing-masing.
Kerajaan-kerajaan tersebut terdiri
dari Tujuh kerajaan di hulu sungai (wilayah Pitu Ulunna salu)
dan Tujuh kerajaan di muara sungai (wilayah Pitu Baqbana
Binanga) ditambah daerah yang bergelar Tiparittiqna Uhai atau wilayah
netral yang tidak bergabung pada kedua persekutuan.
Tujuh kerajaan yang tergabung dalam
wilayah Persekutuan Pitu Ulunna Salu adalah :
1.
Kerajaan Rante Bulahang
2.
Kerajaan Aralle
3.
Kerajaan Tabulahang
4.
Kerajaan Mambi
5.
Kerajaan Matangnga
6.
Kerajaan Tabang
7.
Kerajaan Bambang
Tujuh kerajaan yang tergabung dalam
wilayah Persekutuan Pitu Baqbana Binanga adalah :
1.
Kerajaan Balanipa
2.
Kerjaan Sendana
3.
Kerajaan Banggae
4.
Kerajaan Pamboang
5.
Kerajaan Tapalang
6.
Kerajaan mamuju
7.
Kerajaan Benuang
Kerajaan yang bergelar Kakaruanna
Tiparittiqna Uhai atau wilayah Lembang Mapi adalah sebagai berikut :
1.
Kerajaan Alu
2.
Kerajaan Tuqbi
3.
Kerajaan taramanuq
Adapun istilah Sipewaine di
Adzaq antara kerajaan Rante Bulahang dengan Aralle di wilayah
persekutuan Pitu Ulunna Salu dan antara kerajaan Balanipa dengan kerajaan
Sendana di wilayah persekutuan Pitu Baqbana Binanga hanya dalam status
yang dituakan dalam wilayah persekutuan dan tidak
mencampuri urusan pemerintahan masing-masing kerajaan, yang ada di dalam
terlebih diluar wilayah persekutuannya.
Dalam menjalankan roda
pemerintahan, masing-masing raja menyandang gelar kebangsawanan yaitu : Raja
Balanipa dan raja Sendana bergelar Arayang, raja Banggae dan raja Pamboang
bergelar Maraqdia, raja Tapalang dan raja Mamuju bergelar Maradika, raja
Benuang bergelar Arung, raja Rante bulahang, raja Matangnga, raja Tabang dan
raja Bambang bergelar Indo Lembang, raja Aralle bergelar Indo Kadaneneq, raja
Tabulahang bergelar Indo Litaq.
Semua raja di kerajaan yang ada di
wilayah persekutuan Pitu Ulunna salu, juga masih menyandang gelar
Tomakakaq,kecuali raja Matangnga yang juga bergelar Maraqdia disamping
gelar Indo Lembang.
Batas-batas wilayah Mandar pada awalnya adalah sebagai
berikut :
- Sebelah Utara
berbatasan dengan Lalombi
- Sebelah Barat
Laut Makassar
- Sebelah Selatan
berbatasan dengan Binanga Karaeng
- Sebelah Timur
berbatasan dengan Luwu dan Poso
Namun pada perkembangannya,
batas-batas tersebut mengalami perubahan. Pada batas sebelah Utara dari
Lalombi menjadi Suremana dan pada batas sebelah Selatan dari Binanga Karaeng
menjadi Paku. Baik perubahan disebelah Utara maupun perubahan disebelah Selatan,
keduanya mengalami pengurangan luas wilayah.
Bahasa Mandar terbagi atas Tiga sub
kelompok yaitu ; Sub kelompok bahasa Mandar, Sub kelompok bahasa Pitu Ulunna
Salu dan sub kelompok bahasa Mamuju.
Dalam sub kelompok bahasa Mandar
dikenal empat dialek yaitu ; Dialek Balanipa, dialek Sendana, dialek Banggae
dan dialek Pamboang. Sementara sub kelompok bahasa Pitu Ulunna Salu dikenal dua
dialek yaitu ; Dialek Panneiq dan dialeq Pakkaoq. Sementara Sub dialek bahasa
Mamuju, belum ada data dan kepustakaan yang dapat dijadikan patokan untuk
menentukan berapa jenis dialeknya.
Dari sekian banyak sub kelompok dan
dialek dalam bahasa Mandar, tidak ada satupun yang disepakati dijadikan sebagai
bahasa persatuan dan digunakan diseluruh wilayah Mandar.
Mandar dari zaman tradisional sudah
mengenal seni yaitu ;seni musik, seni tari, seni sastra serta seni ukir.
Seni musik telah melahirkan hasil
karya cipta berupa alat-alat musik yang masih bisa ditemukan sekarang seperti
; Kacaping, sattung, kanjilo, jarumbing, gonggaq, calong, basing-basing
dan kekeserta masih banyak lagi yang tidak sempat diidentifikasi.
Nyanyian-nyaian tradisional yang ada misalnya ; Sayang-sayang,
tipalayo, jalle-jalleteq, kunjung barani dan enggoq-enggoq, sengo-sengo kada
adaq ditambah lagu-lagu lainnya yang memiliki ciri khas tersendiri.
Pada bidang seni tari, masyarakat
tradisional Mandar melahirkan beberapa tarian (tuqduq) seperti ; Dego,
sore, palappaq, sarabadang, tuqduq tommuane (tarian khusus laki-laki) serta
losa-losa (taraian khusus anak-anak) serta masih banyak lagi bentuk tarian yang
sudah tidak bisa diidentifakasi sekarang ini.
Adapun Salonre dan Sawawar,
bukanlah jenis tarian atau tuqduq tapi merupakan latihan umum bagi semua jenis
tuqduq yang dipersiapkan untuk satu upacara tradisional (latihan massal sebagai
general repetisi).
Pada bidang seni sastra, Mandar
memilki sastra lisan berupa Kalindaqdaq, Lolitang (dongeng), Pemanna
(ikrar), Hikayat, Mantra yang sampai sekarang masih bisa dilihat
dalam lontar Mandar. Untuk sastra tulisan yaitu adanya cerita-cerita dongeng
dalam lontar seperti ; Kisah Sitti Fatimah Syam, Tonisesseq ditingalor, Tobisse
di Tallang dan Peang Bulawang.
Eksistensi orang mandar tergambar jelas dalam untaian kalimat
leluhur yaitu ;
Tubu mapaccing dinyawa
Nyawa mapaccing diate
Ate mappaccing dirahasia
Rahasia membolong di Allah Taala.
Artinya :
Jasad bening pada nyawa
Nyawa bening pada hati
Hati bening pada rahasia
Rahasia benam pada Allah Taala.
Sementara sikap orang orang Mandar tergambar dalam untaian
kalindaqdaq yaitu ;
Bismillah akkeq letteqna
Alepuq pelliq-ana
Turang loana
Laa Ilaaha Illallah
Artinya ;
Dengan Bismillah kaki diangkat
Dengan Alif langkah diayun
Tutur katanya
Tiada Tuhan selain Allah.
Sikap orang Mandar pada umumnya
berpegang teguh pada kehormatan dan harga diri, ramah tamah, sabar dan setia
pada janji serta teliti dalam bertutur kata.
PERJANJIAN BOCCO TALLU PERTAMA
Pada mulanya, semua kerajaan yang ada di Mandar belum terjalin dalam satu
persekutuan atau kerjasama antar kerajaan. Masing-masing kerajaan berdiri
sendiri dan memerintah serta berdaulat penuh di wilayah kerajaannya sendiri
tanpa ada hubungan kerjasama dengan kerajaan lain, baik yang ada di kawasan Mandar,
terlebih kerajaan yang ada di luar wilayah Mandar.
Masing-masing kerajaan berusaha
memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga sering terjadi perselisihan yang
berlanjut pada perang antar kerajaan. Upaya menghancurkan kerajaan lain dengan
tujuan menjadi yang terkuat dan terbesar adalah kejadian rutin di Mandar pada
saat itu.
Puncak kekacauan terjadi ketika
munculnya kerajaan Passokkorang yang membuat keonaran hamper di setiap kerajaan
yang ada di Mandar. Perampokan dan upaya adu domba antara kerajaan satu dengan
kerajaan lainnya dilakukan oleh orang-orag Passokkorang yang hampir saja
berhasil menghancurkan seluruh Mandar.
Keadaan yang sangat meresahkan ini
membuat Puatta di Saragiang, Arayang Alu pada saat itu menjadi sangat khawatir
mengingat dua orang putranya masing-masing Puatta di Galu-galung dan Puatta di
Lepong sudah menjadi raja.Puatta di galu-galung menjadi raja Alu dan Puatta di
Lepong menjadi raja Taramanuq. Dari kekhawatiran kedua putranya akan menjadi
korban situasi yang bisa saja mengakibatkan terjadinya perang saudara inilah
sehinga Puatta di saragiang bertekad membentuk semacam persekutuan atau
persatuan dari kedua kerajaan yang dipimpin oleh anak-anaknya.
Pada saat bersamaan, adik kandung
Daeng Palulung Arayang Sendana yang bernama Daeng Sirua menikah dengan putri
Puatta di Saragiang. Moment pertalian kekeluargaan ini semakin membuka jalan
bagi Puatta di Saragiang untuk mewujudkan impiannya.
Ide itu kemudian dibicarakan
bersama dengan Daeng Palulung yang disambut dengan sangat gembira oleh Arayang
Sendana tersebut. Keduanya lalu membicarakan dengan Hadat masing-masing yang
membuahkan kesepakatan untuk mengadakan pertemuan puncak di Sibunoang, salah
satu wilayah kerajaan Alu pada saat itu.
Pertemuan atau perjanjian ini
kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Bocco Tallu yang merupakan perjanjian
dan persekutuan pertama kali di Mandar yang terjadi pada sekitar abad IX / X
masehi. Istilah Bocco Tallu sendiri yang terdiri dari kataBocco dan Tallu memiliki
pengertian harfiah yaitu ; Bocco sama dengan kumpulan atau perkumpulan dan Tallu
sama dengan tiga. Jadi Bocco Tallu adalah Persekutuan atau
persatuan dari tiga kerajaan.
Selain pembentukan secara resmi
persekutuan yang kemudian diberi nama Bocco Tallu tersebut, dalam pertemuan itu
juga dibuat beberapa butir perjanjian dan kesepakatan lalu ditutup dengan
pengucapan sumpah atau ikrar kesetiaan yang akan memegang amanah, mematuhi
segala ksepakatan yang didapatkan dalam pertemuan.
Prosesi pengucapan ikrar tersebut
dilakukan dengan menggenggam kalupping (daun sirih yang
dilipat bersama telur dan emas) yang kemudian dibuang kedalam sungai secara
bersama-sama.
Yang menggenggam dan membuang
Kalupping tersebut secara bersama-sama adalah Puatta di Galu-galung raja Alu,
Puatta di Lepong raja Taramanuq dan Daeng Sirua raja Sendana, tapi yang
mengucapkan sumpah dan ikrar kesetiaan adalah Puatta di saragiang bersama Daeng
Palulung disaksikan oleh segenapHadat dari ketiga kerajaan.
Sumpah atau ikrar perjanjian Bocco
tallu pertama tertulis dalam Lontar Sendana mandar sebagai berikut :
“Madzondong duambongi anna dziang mappa sisala
Pattallumboccoang, ongani balimbunganna baoangi arrianna. Iya-iyannamo
tau mamboeq pura loa meppondoq diallewuang di pattallumboccoang mendaung
raqbas mettaq-e sapeq, membatang puar meq-uwakeq rattas, taq-e napengngaanni
taq-e sapeq, pappang naola pappang raqba, buttu naola buttu latta, puppus
sorokawu mangande api dipennannaranna tomamboeq pura loa”.
Terjemahan :
Besok lusa bila ada yang memecah belah persekutuan Bocco tallu,
balikkan bubungan rumahnya ke bawah dan tiangnya ke atas. Barang siapa diantara
kita mengingkari perjanjian membelakangi kesepakatan dalam persekutuan Bocco
tallu, berdaun gugur bertangkai jatuh, berbatang tumbang berakar putus, dahan
dipegang dahan jatuh, lembah dilalui lembah runtuh, gunung dilewati gunung
terpotong. Hidupnya terkutuk bagai api membakar turun temurun yang ingkar pada
perjanjian.
Butir-butir perjanjian yang disepakati dalam pertemuan ini merpakan hasil
pemikiran Puatta di Saragiang dan Daeng Palulung yang tertulis dalam
lontar Sendana Mandar sebagai berikut :
Nauamo Idaeng palulung ;”Tallumi tau anna mesa, mesami anna
tallu, Sendana, Alu, Taramanuq. Litaq silambang tassi poalla, tassi tundang
matadzang tassi royong masandeq, tauttaq sisolong tassi sawaq, mesa balami
tanni atoning, Sendana, Alu, Taramanuq di Puang di Kondo Budata, mate
simateang tuo sattuoang”.
Terjemahan :
Berkatalah Daeng Palulung ;”Kita tiga sudah menjadi satu, satu
tapi tiga, Sendana, Alu, Taramanuq. Pemimpin saling menyeberang tak keberatan,
tak saling mengingatkan dengan keras apalagi kasar, rakyat saling mengunjungi
dengan aman. Kita sudah satu pagar tak berbatas, Sendana, Alu, Taramanuq bagi
pemimpin dan bagi rakyat. Mati satu mati semua, hidup satu hidup semua”.
Nauamo Puatta Isaragiang ;”Mammesa puammi tau mammesa tau,
maqjuluq sara maqjuluq rio, mammesa pattuyu di latte samballa siola paqdisang.
Daqdua memata disawa, mesa memata dimangiwang. Monasisaraq tuwu annaq nyawa
tassisaraq-i Alu, Taramanuq, Sendana. Tassi paoro diadzaq, sipalete dirapang,
padza nipe adaq adaqtaq, padza niperapang rapattaq, tassi bore-boreang gauq
tassipolong tanjeng tassi raqba tanattanang, sitaiang apiangang tassi taiang
adzaeang”.
Terjemahan :
Berkatalah Puatta di Saragiang ;”Bangsawan kita sudah menyatu
rakyat juga jadi satu menghadapi kesusahan dan kebahagiaan, menyatukan
keinginan di atas tikar selembar sebantal bersama. Dua mengawasi ular satu
mengawasi ikan hiu. Walau terpisah tubuh dengan nyawa, tapi Alu, Taramanuq dan
Sendana tidak akan terpisahkan. Tidak saling mencampuri urusan adat dan aturan
masing-masing, menjalankan adat dan kebiasaan serta serta hukum dan peraturan
masing-masing, tidak saling keras mengerasi, tidak saling merusak tanaman,
saling membawa pada kebaikan, saling menghindarkan dari keburukan”.
Naua womo Idaeng Palulung ;”Mate arawiang Alu Taramanuq, mate
dibaya-bayai Sendana. Sara pole sara nisolai, rio pole rio nisolai. Leqboq
tanni joriq, uwai tanni latta, buttu tanni polong dilalanna Bocco Tallu”.
Terjemahan :
Berkata lagi Daeng Palulung ;”Bila Alu dan Taramanuq mati di
waktu sore, Sendana mati diwaktu pagi. Kesusahan yang datang kesusahan dibagi,
kebahagiaan yang datang kebahagiaan yang kita bagi. Laut tidak kita garis, air
tidak kita putus, gunung tidak kita potong di dalam wilayah Bocco Tallu”.
Melihat latar
belakang pembentukan serta butir kesepakatan yang ada di dalamnya, dapat
disimpulkan bahwa Perjanjian Bocco Tallu pertama dibentuk untuk membangun satu
kekuatan dengan melihat situasi dan kondisi di Mandar pada saat itu.
Sangat jelas dalam butir
kesepakatan bahwa pertahanan dan keamanan merupakan perioritas utama disamping
kerjasama pada bidang ekonomi. Ini merupakan salah satu upaya untuk mencegah
terjadinya perang saudara antara Sendana, Alu dan Taramanuq yang bisa saja
terjadi akibat hasutan dan strategi adu domba yang dijalankan oleh orang-orang
Passokkorang pada saat itu.
Kalimat daqdua memata disawa mesa memata dimangiwang (dua mengintai ular satu
mengintai ikan hiu) adalah kalimat kiasan yang memiliki makna ; Dua
kerajaan, yaitu kerajaan Alu dan kerajaan Taramanuq menjaga dan mengawasi musuh
yang datang dari arah gunung atau hutan, dan satu kerajaan, yaitu kerajaan
Sendana menjaga dan mengawasi musuh yang datang dari laut atau pesisir.
Kesepakatan ini lahir dengan
melihat letak geografis wilayah masing-masing, dimana Alu dan Taramanuq
merupakan kerajaan yang ada di daerah pegunungan dan Sendana adalah kerajaan
yang berada di daerah pesisir atau pantai. Ini berarti, keamanan atas ancaman
musuh yang datang dari arah hutan menjadi tanggung jawab kerajaan Alu dan
kerajaan Taramanuq dan keamanan atas ancaman musuh yang datang dari arah laut
atau pesisir menjadi tanggung jawab kerajaan Sendana.
Persekutuan Bocco Tallu bertahan
sampai pada abad XV masehi dan baru mulai memudar seiring dengan terbentuknya
persekutuan Pitu Baqbana Binanga.
PERJANJIAN BOCCO TALLU KEDUA
(Perjanjian di Sibunoang)
Perjanjian ini terjadi pada sekitar
abad XII masehi atau dua abad sesudah perjanjian pertama. Tempat
dilaksanakannya masih di Sibunoang dan lebih dikenal sampai saat ini dengan
nama ;Perjanjian Sibunoang.
Mulai dari proses sampai isi butir
perjanjian yang disepakati dalam perjanjian kedua ini hampir tidak ada bedanya
dengan perjanjian pertama. Yang membedakan hanyalah para pelaku dan
penggagasnya, karena yang melakukan pertemuan kali ini adalah cucu-cucu Puatta
di Saragiang dan Daeng Palulung, serta penambahan point perjanjian atau
kesepakatan untuk lebih mempertajam dan mempertegas perjanjian sebelumnya.
Tujuan utama dari perjanjian kedua
ini adalah untuk pembaharuan agar wasiat leluhur tidak lepas dari ingatan dan
masih merupakan pegangan bagi pemimpin dan juga masyarakat di tiga kerajaan
yang bersekutu. Dalam Lontar Balanipa Mandar tertulis ;
Nauamo Puangnga Isaq-Adawang di Puangnga Ilepong Puang di
Galu-galung ;”Sitaiq mattallumbocco, mammesa puang mammesa tau, massambua
litaq, mammesa paqdisang, massambua talloq. Tassi pasau tassi paleqmai, tassi
bore-boreang gauq. Anna iya-iyannamo tau namappasisala pattallumboccoang,
tammeari tammennannar, maqbulu pindang tammaqbulu pendiwoeanna. Anna
iya-iyannamo tau mangipi maq-uwa ; Iyamo dilalang diq-e diwattangang tommuane
napa kira-kira namappasisala paqboccoang, sirumunniq-i mattallumbocco annaq
mappadziang eloq, annaq disesseq-i dianusang diuwai tammembaliq. Maloliqmi
talloq di atambusang tarruppuq tammammar, tammangapa. Mesa memata dimangiwang
daqdua memata disawa. Maui lambiq naung Sumakuyu manguma pandudzung
pandengngeqna litaq di Alu, andiang ullawa-lawai. Anna muaq diang umbore-borei
tandi adzaq tandi rapang, tania tuq-u litaq di Alu naboreq, litaq tuq-u di
Sendana. Tettoi tia Sendana, maui lambiq tama rattena Matama pandudzung
pandengngeqna litaq di Sendana manguma andiang ullawa-lawai. Anna muaq diang
umbore-borei tandi rapang tandi adzaq, Tania tuq-u litaq di Sendana naboreq,
litaq tuq-u di Alu. Apaq sikira-kirai diapiang, tassi kira-kira diadzaeang.
Tassi polong tanjingngiq, tassi raqba tanattananiq, tassipeleiang pura loa.
Anna madzondong duambongi annaq silambiq pakke barang-barangang, daiq situndang
matundang, daiq siroyong tallotang. Sipatuppiq diadzaq, sipaleteiq dirapang”.
Terjemahan :
Maka berkata Puatta Isaq-Adawang pada Puangnga Ilepong, Puang di
Galu-galung ;”Kita berteu tiga kerajaan yang bersekutu, untuk bersatu
pemerintah, bersatu rakyat, bersatu negri, bertikar selembar sebantal bersama,
berbulat telur. Tidak saling kesana kemari, tidak saling memperlihatkan tabiat
tidak terpuji. Siapa saja yang ingin memisahkan persekutuan Bocco Tallu, mereka
beranak tak berkepala, tak berkaki tak berkelamin. Dan siapa saja yang ingin
memecah belah persekutuan, tak bertembuni tak berketurunan, berbulu piring tak
berbulu keturunannya. Dan bara siapa yang bermimpi mengatakan ; Inilah anak
laki-laki yang saya kandung akan memecah belah Bocco Tallu sesudah lahir kelak,
adakan musyawarah tiga kerajaan yang bersekutu untuk segera membedah perut
orang hamil tersebut lalu keluarkan anak yang dikandungnya kemudian hanyutkan
di air tak kembali. Telur terguling kearah mata hari terbit, tak pecah tak
memar, taka pa-apa. Satu mengawasi ikan hiu, dua mengawasi ular. Biar sampai ke
Sumakuyu masyarakat Alu berkebun, tidak akan ada yang menghalangi. Kalau ada
yang melarang tidak sesuai hukum dan aturan serta adat kebiasaan, maka bukan
orang Alu yang dihalanginya tapi orang sendana. Begitu juga Sendana, biar
sampai ke Matama masyarakatnya berkebun, tidak ada yang bisa melarang atau
menghalangi. Bila ada yang melarang atau menghalangi tidak sesuai hukum dan
peraturan, maka bukanlah orang Sendana yang dihalangi melainkan orang Alu.
Karena kita saling menuntun pada kebaikan dan saling menghindarkan dari
keburukan. Tidak saling keras mengerasi, tidak saling merusak tanaman, tidak
saling ingkar dari kesepakatan. Besok lusa bila pernah kita berkongsi harta,
jangan saling menagih dengan keras dan tajam. Mari kita saling menghormati
hukum, saling mematuhi aturan”.
Dari sumber yang ada, baik dalam lontar Sendana Mandar tentang Perjanjian Bocco
Tallu pertama maupun dalam lontar Balanipa Mandar tentang Perjanjian Sibunoang
atau Perjanjian Bocco Tallu kedua ditambah hasil wawancara dengan beberapa nara
sumber, sangat jelas bahwa perjanjian Bocco Tallu kedua hanyalah sebuah
pembaharuan dan penekanan kesepakatan yang dihasilkan pada perjanjian Bocco
Tallu pertama. Kemudian para pelakunya adalah orang yang berbeda tapi gelar
atau jabatannya masih sama yaitu ; Puatta, Arayang dan
juga Puang. Sepintas, para pelaku dalam dua peristiwa
perjanjian ini sepertinya masih orang yang sama karena yang tertulis dalam
kedua lontar tersebut adalah gelar atau jabatannya dan bukan namanya.
PERJANJIAN TAMAJARRA
Banyak persepsi yang muncul dari para penulis dan pengkaji sejarah Mandar
tentang berapa kali perjanjian Tamajarra dilaksanakan. Diantara persepsi itu
ada yang mengatakan tujuh kali, empat kali, tiga kali, bahkan ada yang
mengatakan lebih dari tujuh kali. Perbedaan pendapat yang muncul dari para
pakar sejarah Mandar ini memang sangatlah mungkin terjadi mengingat sumber data
utama yaitu lontar masih sangat sedikit yang sempat ditemukan.
Namun perbedaan pendapat ini bukanlah suatu hal yang akan melemahkan semangat
para penulis, karena pengungkapan dan penggalian sejarah bukanlah harga mati
atau kebenaran mutlak dari seorang penulis dengan sumber data yang didapatnya,
melainkan dasar untuk pengembangan dari sumber data yang ditemukan berikutnya
oleh penulis lain maupun penulis yang sama.
Dalam penulisan ini, penulis hanya menemukan sumber data yang mencatat tentang
perjanjian Tamajarra yang dilaksanakan sebanyak dua kali, yang kemudian dikenal
dengan nama Perjanjian Tamajarra Pertama dan Perjanjian Tamajarra Kedua. Namun
sampai saat ini penulis juga teramat yakin kalau perjanjian Tamajarra diadakan
lebih dari dua kali.
A. PERJANJIAN
TAMAJARRA PERTAMA
Perjanjian Tamajarra pertama
terjadi pada sekitar abad XV masehi di Tamajarra dengan tujuan utama
membicarakan penyerangan dan penghancuran kerajaan Passokkorang yang mengacau
hamper di seluruh wilayah Mandar pada saat itu. Rencana diadakannya perjanjian
ini dibicarakan dalam satu pertemuan sebelumnya di Podang Sendana. Hanya saja,
pertemuan awal ini tidak dijelaskan secara khusus, baik dalam lontar yang
sama maupun dalam lontar yang lain.
Kerajaan-kerajaan yang ikut dalam
perjanjian Tamajarra pertama ini adalah kerajaan Balanipa, kerajaan Sendana,
kerajaan Banggae, kerajaan Pamboang, kerajaan Tapalang, dan kerajaan Mamuju
atau lebih tepatnya kerajaan-kerajaan yang ada di daerah pantai kecuali
kerajaan Benuang yang tidak ikut serta.
Sesuai dengan tujuan utamanya,
sesudah diadakannya pertemuan, penyerangan dalam rangka penghancuran kerajaan
Passokkorang dilakukan dibawah pimpinan Tamanyambungi raja Balanipa. Tapi
penyerangan pada saat itu tidak berhasil termasuk penyerangan-penyerangan
selanjutnya yang dilakukan beberapa kali.
Melihat kenyataan ini,
Tamanyambungi merencanakan perjanjian Tamajarra kedua yang akan melibatkan
semua kerajaan di Mandar. Tapi sebelum rencana pertemuan itu terlaksana,
Tamanyambungi wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Tomepayung.
Dibawah komando Tomepayung,
perjanjian Tamajarra kedua dilaksanakan dan untuk pertama kalinya, seluruh
kerajaan yang ada di Mandar bekerjasama dan berhasil menghancurkan kerajaan
Passokkorang.
Namun rencana pembentukan
persekutuan seluruh kerajaan di Mandar yang digagas oleh Tamanyambungi tidak
terlaksana, karena yang dilakukan Tomepayung setelah berhasil menghancurkan
Passokkorang hanyalah membentuk persekutuan semua kerajaan yang ada di daerah
pantai. Disinilah awal mula terbentuknya Persekutuan Pitu Baqbana Binanga (PBB)
atau persekutuan tujuh kerajaan yang ada di muara sungai.
Secara lengkap, prosesi Perjanjian
Tamajarra pertama adalah sebagai berikut :
Tepui tangngar di Podang, sirumummi tau di Tamajarra maqjuluq
tangngar maqjuluq nawa-nawa mammesa pattuyu mappenduku mappendongang
aburassunganna Passokkorang.
Nauamo litaq di Napo ;”Meq-apai tangngarna litaq di Sendana ?”
Nauamo Sendana ;”Meq-apai mieq banggae, Pamboang, Tapalang,
mamuju ?”
Nauamo banggae ;”Balanipamo annaq Sendana namapia maq-anna
tangngarang”
Mattimbaqmi Pamboang, Tapalang annaq mamuju mappattongang loana
Banggae.
Nauamo litaq di Napo ;”Natumbiringi natuppattoi litaq di mandar,
moaq iqdai mala lumbang pasoranna passokkorang, ropoq kotana. Tammalami
mattittoq bannis tau maiqdittaq, tammala tomi mandundu uwai saq-ammeang,
napateng aburassunganna Passokkorang meabong allo wongi. Innang nani bunduppai
Passokkorang siola nebeta topai maqbunduq annaq mala lewa litaqtaq di Mandar,
anna mala maq-ita tindo tau maiqdittaq”.
Nauamo Sendana ;”Tongang sannaq-i paunna Napo. Matemi Maraqdia
Ibaro-baro napatei maraqdia Passokkorang, nala topa bainena. Tanniua madzondong
tanniua duambongi itaq towomo nalelei, moaq mangande apimi agenggeanna
Passokkorang. Pissangi Napo meloq maq-anna bunduq kayyang, pessappuloaq adoq,
apaq dotai lao nyawa dadzi nalao siriq. Meq-apai tangngarna Banggae, Pamboang,
Tapalang, mamuju ?”.
Siramba-rambangammi mattimbaq paunna Sendana maq-ua ;”Inna mapia
nasanga Sendana siola Balanipa, nani pomate nani potuo pemali nani peppondoq-i”.
Nauamo Sendana ;”Bunduqdi tutia nirumungang tau nipammesang
pattuyu, nisipomateang nisipotuoang. Litaq annaq tau, odzi adzaq odzi biasa
tia”.
Nauamo Napo ;”Padza nipeadaq-i adaqtaq padza niperapangi
rapattaq, litaq anjoriq simemanganna, tau tipatettoi. Padza niposoe soeta,
padza nipojappa jappataq di litaqtaq. Iya tia muaq dilalang bunduq-i tau, mesai
bamba mesa toi kedzo, mate sammateang tuo sattuoang. Moaq messummi digumana anu
matadzattaq, pemali membaliq digumana moaq iqdai malele bunduq. Dotai karewa
limbang diaja dadzi nakarewa manyomba. Iya-iyannamo tau meppondoq dibunduq
mamboeq allewuang, puppus sorokawu, niala topa litaqna siola taunna
niware-ware. Ammongi tanni baqbarang uru pau pura loa, limbang nyawa tallallaq
pura loa”.
Terjemahan :
Setelah bulat pertimbangan di Podang, berkumpullah kita di
Tamajarra melakukan musyawarah mufakat, bertekad bulat duduk tengadah
memikirkan kekejaman kerajaan Passokkorang.
Berkata Napo ;”Bagaimana pertimbangan Sendana ?”
Berkata Sendana ;”Bagaimana juga pertimbangannya Banggae,
Pamboang, Tapalang, mamuju ?”
Berkata Banggae ;”Balanipa saja dengan Sendana yang berembuk”.
Pamboang, Tapalang, Mamuju membenarkan saran Banggae.
Berkata Sendana ;”Bagaimana pertimbangan Napo ?”
Berkata Napo ;”Mandar terancam hancur jika jika tembok dan
benteng kekuatan kerajaan Passokkorang tidak dihancurkan. Rakyat banyak tidak
akan bisa memakan sesuap nasi dan meminum air walau seteguk karena kekejaman
Passokkorang yang selalu menghantui siang malam. Harus kita serang dan kalahkan
demi keselamatan daerah Mandar serta ketenangan rakyat kita”.
Berkata Sendana ;”Benar sekali pendapat Napo. Raja Ibaro-baro
sudah mati dibunuh raja Passokkorang, lalu istrinya juga diambil. Tidak besok
tidak lusa, mungkin kita lagi yang punya giliran jika Passokkorang semakin
merajalela membakar bagai kobaran api. Satu kali Napo berkata mau memerangi
Passokkorang, sepuluh kali kami menyetujui. Lebih baik nyawa melayang dari pada
harga diri yang hilang. Bagaimana pendapat Banggae, Pamboang, Tapalang, Mamuju
?”
Bersamaan Pamboang, Banggae, Tapalang, Mamuju menjawab
;”Mana-mana yang ditetapkan oleh Sendana dan Balanipa, mati hidup kami
mendukung dan pantang mengingkarinya”.
Berkata Sendana ;”Kita berkumpul karena tekad dan semangat untuk
berperang, sehidup semati mempertahankan wilayah menyelamatkan rakyat, karena
itu sudah menjadi tanggung jawab dan adat kebiasaan”.
Berkata Napo ;”Kita tetap berjalan sesuai adat dan aturan
masing-masing. Wilayah ada batasnya memang sudah menjadi aturan, begitu juga dengan
masyarakat. Hanya saja, dalam perjuangan atau peperangan kita harus tetap satu
kata dengan perbuatan, memegang perinsip mati satu mati semua, hidup satu hidup
semua. Bila senjata tajam sudah keluar dari sarungnya, tabu dimasukkan kembali
bila peperangan belum tuntas, lebih baik mati dari pada akan menyerah.
Siapa-siapa diantara kita yang lari dari perjuangan/peperangan mengingkari
sumpah dan janji, akan hidup melarat, wilayahnya dirampas dan rakyatnya
dibagi-bagi. Pegang erat perjanjian walaupun nyawa jadi taruhannya”.
B. PERJANJIAN
TAMAJARRA KEDUA
Perjanjian Tamajarra kedua juga
terjadi pada abad XV di Tamajarra dengan tujuan utama membentuk secara resmi
persekutuan atau persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di daerah pesisir yang
kelak dikenal dengan Pitu Baqbana Binanga.
Pembentukan persekutuan Pitu
baqbana Binanga ini berlatar belakang pada kekhawatiran akan munculnya kembali
orang-orang Passokkorang, hingga dipandang perlu untuk membentuk satu kekuatan,
terutama dalam segi pertahanan dan keamanan di wilayah pantai. Pada dasarnya,
dalam pertemuan ini, kesepakatan yang dihasilkan hanyalah pada bidang Hankam.
Sementara untuk bidang yang lain, misalnya politik, hukum, adat istiadat dan
pemerintahan, masing-masing kerajaan tidak saling mencampuri.
Perjanjian Tamajarra kedua diikuti
oleh masing-masing raja dari tujuh kerajaan di wilayah pantai yang terdiri dari
;
1.
Tomepayung raja balanipa
2.
Puatta di Kuqbur raja Sendana
3.
Daetta Melantoq raja Banggae
4.
Tomelake Bulawang raja Pamboang
5.
Puatta di Karanamo raja Tapalang
6.
Tomejammeng raja Mamuju
7.
(Cucu Tokombong di Bura) raja Benuang.
Secara lengkap, prosesi perjanjian
Tamajarra kedua adalah sebagai berikut ;
Sirumummi tau dio di Tamajarra. Diomi Sendana, alatettopa di
saliwanna.
Nauamo Maraqdia Balanipa ;”Iya mieq anna uperoao sanganaq, mapia
ai tau mieq massambulo-bulo itaq pitu, apaq malluluareq nasandi tau mieq
inggannana Puang, mesadzi nene niperruqdussi disiola-olai, padza apponadzi
Tokombong di Bura. Inaimo uppeappoani Maraqdia Mamuju iyatopa Maraqdia Tapalang,
Taandirimo. Inaimo uppeappoani Maraqdia Sendana ala iya topa Maraqdia Pamboang,
Daeng palulungmo. Tokombong di Bura towandi naperruqdussi. Maraqdia Banggae
annaq Maraqdia Benuang Ibokka Padangmo uppeanani, Tokombong di Bura towandi
napeppolei”.
Apadzaq-a anna nauamo Maraqdia Sendana ;”Malluluareq nasandi
tau, apaq mesa bulo-bulo niperruqdussi. Nainna ami nanaua pattuyunna iq-o
mieq”.
Anna nauamo lima lao di Sendana ;”Iq-omo sitangngarang
Balanipa”.
Nauamo Balanipa ;”Iq-omo kayyang Sendana”
Nauamo Sendana ;”Pissanoq-o maq-ua, pessapuloaq marannu.
Sanggadzi mesa, iyaumo kayyang anna iq-omo Sambolangiq. Iq-omo namuane iyaumo
nawaine, annaq anaqmi Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju, Benuang, apaq
tokkongi manini pasoranna Passokkorang. Mate madzondongi Balanipa, mate
diarawiangi Sendana siola anaqna. Tettoi tia Sendana, situoang simateang Pitu
baqbana Binanga”.
Mappatemmi diq-o assituruanna Sendana Balanipa, sipangaanni
kalupping sipangaanni talloq annaq siparuppuammi nasaqbiq dewata diaya dewata
diong. Iya-iyannamo mappelei pura loa, diongani balimbunganna, diwaoani
arrianna”.
Nauamo Tomepayung ;”Iya topa uperoa baine, apaq tua annaq padza
tannangi lawaqmu, muaq mettamai inggannana jangang-jangang merriqbaqna litaq
Balanipa di litaqmu, anummu tomi Iq-o, iq-o tuq-u baine ala iq-o”.
Anna iyamo diq-o pappeweinna Balanipa, anna bainemo Sendana,
anaqmi lima Baqba Binanga,sikadzaeang simapiangang situoang simateang.
Mattoanami balanipa dibainena dianaqna tedzong, sisappuloang balasse
barras.
Terjemahan :
Berkumpullah kita semua di Tamajarra. Hadirlah Sendana, begitu
juga yang lain.
Maka berkata raja Balanipa ;”Yang mendorong saya mengundang
saudara semua, ada baiknya kita yang tujuh (wilayah) ini membentuk persatuan
karena kita semua Bangsawan bersaudara, satu nenek asal muasal kita. Kita semua
adalah cucu Tokombong di Bura. Cucunya siapa raja Mamuju dan juga Tappalang,
Taandiri-lah. Cucunya siapa raja Sendana dan juga raja Pamboang, Daen
Palulunglah. Tokombong di Bura juga asalnya. Raja Banggae dan Raja Benuang,
Ibokka Padang-lah yang melahirkannya, Tokombong di Bura juga asal muasalnya.
Itu sebabnya kita semua bersaudara, karena kita berasal dari satu nenek.
Bagaimana pendapat sudara ?”
Kemudian berkatalah yang lima (Banggae, Pamboang, Tappalang,
Mamuju dan Benuang) kepada Sendana ;”Anda saja yang berembuk dengan balanipa”
Berkata balanipa ;”Engkaulah yang besar Sendana”
Berkata Sendana ;”Satu kali engkau katakana, sepuluh kali aku
berharap. Hanya saja, sayalah besar tapi engkaulah yang Sambo Langiq. Engkaulah
yang jadi suami, sayalah isteri, anaklah Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju,
benuang, karena dikhawatirkan orang-orang Passokkorang bisa membangun kembali
kekuatannya dan kembali melakukan teror serta penyerangan dimana-mana. Balanipa
mati dipagi hari, Sendana mati disore hari bersama anak-anaknya. Begitu juga
Sendana, sehidup semati dengan Pitu Baqbana Binanga”.
Begitulah kesepakatan Sendana Balanipa, bersama-sama memegang
kalupping, memegang telur lalu dipecahkan bersama-sama disaksikan dewata di atas
dewata di bawah. Siapa yang mengingkari janji, balikkan bubungan rumahnya
dibawah tiangnya keatas.
Berkata Tomepayung ;”Saya juga memohon, bila ada pelarian
tahanan Balanipa masuk diwilahmu, itu sudah menjadi hak kamu”
Itulah kesepakatan Balanipa, istrilah Sendana, anaklah lima
kerajaan di Pitu Baqbana Binanga (Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju dan
Benuang). Balanipa member Kerbau dan masing-masing sepuluh karung beras.
Catatan :
Sambo Langiq adalah nama
burung sejenis elang yang tidak memangsa ayam dan terbangnya selalu yang
tertinggi dari burung lainnya. Pengertian harfiah Sambo Langiq adalah ; Sambo
sama dengan penutup, Langiq sama dengan langit. Jadi Sambo Langiq artinya
Penutup Langit. Ini merupakan kata kiasan yang kemudian dijadikan simbol perlindungan atau yang bisa melindungi. Misalnya ;
Matangnga jadi Sambo Langiq di Pitu Ulunna Salu, Limboro Rambu-rambu jadi Sambo
Langiq di kerajaan Sendana dan Balanipa jadi Sambo Langiq di Pitu Baqbana
Binanga.
PERJANJIAN PITU ULUNNA SALU
Perjanjian Pitu Ulunna salu sebenarnya memiliki dua agenda pokok yaitu ;
Pembentukan Persekutuan tujuh kerajaan di hulu sungai yang kemudian dikenal
dengan Pitu Ulunna salu dan mengubah Adaq Mate menjadi Adaq Tuho.
Namun dalam pertemuan atau musyawarah, kesepakatan yang dihasilkan berkembang
pada penetapan beberapa Lembang (daerah/wilayah) dengan status penguasaannya di
Pitu Ulunna salu yang terdiri dari ;
1.
Rante Bulahang sebagai Indo Lembang
2.
Aralle sebagai Indo Kadaneneq
3.
Tabulahang sebagai Talao Rapanna Kadaneneq, Indo Litaq. Petaha
Manaq Pabisaq Parandangang.
4.
Mambi sebagai Lantang Kadaneneq.
5.
Matangnga sebagai Andiriq Tangtempoqna Kadaneneq
6.
Tabang sebagai Bubunganna kadaneneq
7.
Bambang sebagai Suqbuanna Kadaneneq
Adaq mate artinya hukum mati.
Dimana bila seseorang melakukan pembunuhan maka hukumannya adalah hukuman mati.
Sedangkan Adaq Tuho yang pengertian harfiahnya hukum hidup, merupakan sebuah
aturan dimana bila seseorang melakukan pembunuhan, hukumannya bisa dengan denda
berupa kerbau atau binatang lain yang disepakati melalui musyawarah adat.
Kerajaan-kerajaan yang ikut dalam
perjanjian Pitu Ulunna Salu adalah semua kerajaan yang ada di daerah hulu
sungai yang terdiri dari :
1.
Kerajaan Rante Bulahang
2.
Kerajaan Aralle
3.
Kerajaan Tabulahang
4.
Kerajaan Mambi
5.
Kerajaan Matangnga
6.
Kerajaan Tabang
7.
Kerajaan Bambang
Musyawarah dipimpin oleh Londong
Dehata atau Tomampuq dan Indona Puang Banua atau Baitang Aralle.
Ada dua pendapat tentang waktu
diadakannya perjanjian ini. Perbedaan tersebut berkisar pada sesudah dan
sebelum terbentuknya Pitu Baqbana Binanga..
Pendapat pertama yaitu sesudah
pembentukan Pitu Baqbana Binanga berdasar pada ; Bahwa pembentukan Pitu Ulunna
salu dilaksanakan sesudah terjadinya perang Tinata, dimana perang Tinata itu
sendiri terjadi sesudah terbentuknya Pitu Baqbana Binanga. Ini berarti bahwa
perjanjian Pitu Ulunna salu terjadi pada sekitar abad XV – XVI masehi.
Pendapat kedua yaitu, sebelum
terbentuknya Pitu Baqbana Binanga berdasar dengan melihat penggagas Pitu
Ulunna Salu adalah Londong Dehata atau Tomampuq jauh lebih tua dari pada
Tomepayung dan Puatta di Kuqbur yang menggagas pembentukan Pitu Baqbana binanga
dalam perjanjian Tamajarra kedua. Pendapat ini memprediksi bahwa perjanjian
Pitu Ulunna Salu terjadi pada abad XIV masehi karena pada sekitar abad
tersebutlah masa pemerintahan Londong Dehata.
Secara umum, kesepakatan yang
dihasilkan dalam Perjanjian Pitu Ulunna Salu adalah :
1.
Menetapkan terbentuknya persekutuan Pitu Ulunna salu
2.
Menetapkan Adaq mate menjadi Adaq Tuho
3.
Menetapkan fungsi dan tugas para Lembang di Pitu Ulunna salu
4.
Menetapkan Rante Bulahang sipobaine di adzaq (ketua dan wakil)
dengan Aralle.
5.
Menetapkan berlakunya Adaq Tuho.
Perjanjian Pitu Ulunna Salu lebih
jauh dijelaskan dijelaskan sebagai berikut ;
Nibatta bittiq tau, tappa di bittiq
tedong
Nibatta bittiq tedong, tappa di
bittiq bahi
Nibatta bittiq bahi, tappa di
bittiq manuq
Nibatta bittiq manuq, tappa
dipaqbarang-barangang
Terjemahan :
Kaki
manusia diparang, tiba dikaki kerbau
Kaki kerbau diparang, tiba dikaki babi
Kaki babi diparang, tiba dikaki ayam
Kaki ayam diparang,tiba pada harta benda.
PERJANJIAN RANTE BULAHANG
Perjanjian Rante Bulahang terjadi pada sekitar abad XVII masehi yang melibatkan
dua kerajaan, yaitu ; Kerajaan Balanipa dan kerajaan Rante Bulahang. Tempat
dilaksanaknnya perjanjian ini adalah di wilayah Rante Bulahang tepatnya di
Lembang Matangnga.
Perjanjian ini terjadi ketika raja Balanipa pergi ke Rante Bulahang mencari
pelarian perang orang-orang Passokkorang yang banyak meminta perlindungan di
daerah matangnga wilayah Rante Bulahang.
Dengan pertimbangan kemanusiaan, tujuh kerajaan dalam persekutuan Pitu Ulunna
salu yang diwakili oleh kerajaan Rante Bulahang meminta pada kerajaan Balanipa
agar orang-orang Passokkorang tersebut tetap dibiarkan hidup dan tinggal di
Rante Bulahang dalam status terbatas.
Raja Balanipa memenuhi permintaan tersebut dan orang-orang Passokkorang
dianggap sebagai rakyat pemberian kerajaan Balanipa kepada kerajaan Rante
Bulahang secara khusus dan kepada persekutuan Pitu Ulunna salu secara umum.
Walaupun dalam perjanjian ini kerajaan Balanipa tidak mewakili
kerajaan-kerajaan di Pitu Baqbana Binanga secara resmi, tapi dengan sendirinya
Perjanjian Rante Bulahang dikenal sebagai perjanjian pertama yang terjadi
antara Pitu Ulunna salu dengan Pitu Baqbana Binanga.
Secara lengkap, prosesi Perjanjian Rante Bulahang adalah sebagai berikut
;
Fashlun. Pannassai iyamo diq-e pura loa di Rante Bulawane,
dilalanna lembang di Matangnga, nasituruq-i litaq di Balanipa.
Naua Balanipa ;”E, Rante Bulawang, madzondong duambongi anna
tassi peppondoang tassi bokorang tapada sule di tondoqtaq. Mesa tappa kira-kira
mesa tappa welai, iq-o tatti aluppe, iyau tammalilu. Anna iya topa muaq diang
tosisala timu, tosisala bikkung, tosisala paeq, tosisala batta uwase di Ulunna
Salu, di parittiqna uwai lambiq di sambanambena litaq di Balanipa. Disaliwanna
topa naminna-minna toa dilalanna litaq di Passemandarang, daiq situndang
matadzang, daiq siroyong masandeq. Sipatuppuiq di adaq sipaleteiq di rapang. Padza
melleteiq di petawung tapalandang, padza mannunnung di sasiq tapagittiq,
sipurrus pekkali susuang, sipamalambuang tangalalang. Latta uwakeq natedzoang,
rappaq batu-batu taindaq-i, angga sorena diapiang annaq tapajai. Apaq maliluiq
sipakaingaq, maraqba sipatokkong, labeang sipatoppaq, ingganna Ulunna
salu, Diparittiqna uwai, sallengoang sambeluang”.
Nauamo litaq di Rante Bulawang ;”Rannunna rannuq-u makkerannu
laeng duapaq diolona litaq di Balanipa upaoroang todzioloq nau pappasanang
dianaq dimundi, upoaattang di langiq kadanna sappura loau litaq di Balanipa nau
appalakang, upatumballeang paleq lima di dewata diwao dewata dilalang banua,
dewata di saliwanna tondoq, nana peq-irrangngi tala bingai, tala butai diolona
litaq di Balanipa. Taq-utambai anna sule, taq-u patorro anna torro. Tala
upangande tala upengeruq-i dilalanna lembang di Matangnga loana litaq di
Balanipa. Apaq iya sia Rante Bulawang, pendua pettallung siari narannuang Pitu
Ulunna Salu, Parittiqna Uhai, Nauanna tomi litaq di mamasa Parrondong Bulawani,
Sundaqdaq Manaqna. Upaumbanani balimbing, uparumbeiyang roppong uwe
Balanipa. Madzondong duambongi anna reqde leqdeq leqboq mendaummo sasi,
naitumbammi parondong bulawang sundaqdaq maniqna litaq di Balanipa. Iya topa
muaq muluangandaq panggaraga lendaq, musoeangandaq pambusoq tojaba mettama di
Matangnga, namu tombommi balimbing, namu sappiqmi roppo uwemu Balanipa. Tau di
lembang Matangnga tau muane tau di Ulunna Salu, diparittiq uwai tau di
Rante Bulawang. Paboro titanduqmi paborongang bulalaqmi namattendemmo kutang
nisora-sora. Dokeq dibandangani Balanipa. Nadzi lesseqmo batu kurangang di
Ulunna Salu di Baqbana Madatte nadzi lalimmo kayu di Lego nadzi pallalangi
bukunna nene, muaq namu pelei dipura kadanna Balanipa, lambiq di Pitu baqbana
Binanga”.
Terjemahan ;
Fasal. Inilah yang menjelaskan perjanjian Rante Bulahang
di daerah Matangnga dengan Balanipa.
Berkata Balanipa ;”Hai Rante Bulahang ! Besok lusa kita semua
sudah kembali ke wilayah masing-masing, satu tidak iri satu tidak memandang
rendah, engkau tidak lupa dan aku tidak ingkar. Jika ada yang berselisih kata
berbeda sikap, di Pitu Ulunna Salu, di Tiparittiqna Uhai sampai pada daerah
tetangga Balanipa atau diluarnya dimana saja di wilayah Mandar, jangan kita
saling mengingatkan dengan benda tajam, jangan pula dengan benda runcing. Kita
semua tunduk pada hukum, saling berjalan pada aturan. Kita saling melangkah di
atas pematang yang kita rentang, saling menuntun tali pelurus yang kita
bentang, saling kunjung mengunjungi, saling melapangkan jalan. Sama-sama putus
akar ditendang, pecah batu kita injak, sampai kita semua tiba berlabuh pada
kebaikan baru kita berhenti. Kita khilaf saling mengingatkan, kita jatuh saling
mengangkat, berkata saling mempercayai seluruh Pitu Ulunna Salu, Tiparittiqna
Uhai, seluruh wilayah Lenggoq seleruh daerah Beluang”.
Berkata Rante Bulahang ;”Dengan segala senang hati saya
menyambut ucapan Balanipa. Saya hadirkan orang-orang tua, akan kuamanahkan pada
anak cucu, kupersaksikan ke langit semua ucapan Balanipa. Saya mohonkan dengan
menadahkan tangan kepada dewata di atas dewata di bawah, dewata di dalam dewata
di luar. Dia pasti mendengar karena dia tidak tuli, dia pasti melihat karena
dia tidak buta. Saya akan tempatkan juga Mamasa sebagai pendamping terbaik,
patriot setia bagi Balanipa. Besok lusa air laut meluap karena pasang, akan
bergeraklah pendamping terbaik. Dan juga jika engkau memberikan janji serta
jerat jawa masuk di wilayah Matangnga, berarti engkau lubangi belimbing
(dinding dari akar kayu), musnah pula hutan rotan Balanipa. Rakyat di daerah
Matangnga, di Pitu Ulunna Salu, di Tiparittiqna Uwai, adalah manusia perkasa,
manusia pemberani di Rante Bulahang. Akan berantakanlah semua janji, musnahlah
kesepakatan, yang tersisa ditangan hanyalah kutang bercorak, tibalah pada
gagang tombak Balanipa. Akan ditebarlah batu karang sampai ke Pitu Ulunna Salu,
di muara Madatte, akan diangkut kayu lego untuk mengangkut tulang belulang
nenek moyang, jika Balanipa mengingkari janji sampai pada Pitu baqbana
Binanga”.
PERJANJIAN MANDAR
DENGAN LIMA AJATAPPARENG
Sebenarnya, perjanjian ini lebih tepat kalau dikatakan perjanjian Pitu Baqbana
Binanga dengan Lima Ajatappareng karena pada saat perjanjian dilaksanakan,
tujuh kerajaan lain di Mandar yaitu kerajaan-kerajaan yang ada di persekutuan
Pitu Ulunna salu tidak terlibat dan tidak terwakili oleh tujuh kerajaan di Pitu
baqbana Binanga yang ikut perjanjian.
Dalam Lontar Balanipa Mandar tertulis :
Fashlun. Iyanae pada adaengngi assi jancianna Menreq-e Pitu
Baqbana Binanga, Lima Ajatappareng. Menreq riaseq Sawitto riawa, Menreq riawa
Sawitto riaseq. Tau tassi laengeng tana tassi laengeng. Tassi engkalingai adaq
risaliweng, tassi sarangengngi tosala, tassi tatolariwi. Malilu sikaingaq, maqba
sipatokkong, maliq siparappe.
Narekko engka macacaq tenruqna maraja panasana ri Menreq, tenna
ulleni Menreq teppaq-i tenruqna, uppaseq-i panasana. Makko topa ri Sawitto,
rekko engka maccacaq tenruqna maraja panasana, tenna ulleni sawitto teppaq-i
tenruqna, pasaq-i panasana, mappe dapiqni resiajinna re Menreq, sibawani
teppaq-i tenruqna, pasaq-i panasana.
Iya topa rekko riwerengiq ri dewatae aliluammua ripogauq,
sireqba tangngaq-e tessi reqba pasoreng, tessi akkala-akkalareng, tessi
jollereng roppo-roppo, iya mua siwerengngiq ada malempuq temma jekko-jekko,
tessi tatolari tessi watarrappei. Iya mua sipoteterang,tessi polo tanjengiq.
Makkedai sawitto, narekko menreq monro ri Sawitto, to Sawittoni. Narekko to
Sawitto monro ri Menreq, to Menreqni. Kuaniro assijancianna Limae Ajatappareng,
Pitue Baqbana Binanga. Lima Ajatappareng diwakili Lamakkaruka Petta Lolo.
Tamat.
Terjemahan :
Fasal. Inilah yang menjelaskan perjanjianMandar, Pitu Baqbana
Binanga dengan Lima Ajatappareng. Mandar di atas Sawitto di bawah, Sawitto di
atas Mandar di Bawah. Rakyat tak boleh berselisih, tanah/wilayah tak berbeda.
Saling tidak mendengar hasutan dari luar, saling tidak berteman dengan yang
salah. Khilaf saling mengingatkan, jatuh saling mengangkat, hanyut saling
menepikan.
Bila ada yang runcing tanduknya besar nangkanya (pembangkang) di
Mandar dan Mandar tidak mampu mengatasinya, maka Mandar mengundang
Sawitto.Begitu juga bagi Sawitto, kalau ada yang runcing tanduknya, besar
nangkanya dan Sawitto tidak mampu memotong tanduknya, mematok (Pasaq ; Satu
cara untuk mempercepat masaknya buah nangka) nangkanya, maka sawitto mengundang
Mandar dan bersama-samalah memotong tanduknya mematok nangkanya.
Jika dewata takdirkan kita melakukan kehilapan, kita harus
saling bertukar pertimbangan, tidak saling beradu tombak, tidak saling akal
mengakali, tidak saling membawa pada kesusahan, kita harus menyelesaikan dengan
musyawarah, tidak saling ganti mengganti, tidak saling rampas merampas
(kekuasaan). Kita harus saling bombing membimbing dan tidak saling keras
mengerasi. Berkata Sawitto, Mandar percaya. Berkata Mandar, Sawitto percaya.
Bila orang Mandar tinggal di sawitto berarti dia sudah jadi orang sawitto.
Kalau orang Sawitto tinggal di Mandar, berarti dia sudah jadi orang Mandar.
Begitulah perjanjian antara Lima Ajatappareng dengan Mandar Pitu Baqbana
Binanga. Lima Ajatappareng diwakili oleh Lamakkaraka Petta Lolo. Tamat.
Ada beberapa pendapat tentang latar belakang terjadinya perjanjian ini yang
kesemuanya masih merupakan predikisi masing-masing penggali sejarah sesuai
dengan data yang mereka dapatkan. Namun perbedaan pendapat tersebut bukanlah
hal yang penting untuk diperdebatkan, tapi sangat bermanfaat untuk dijadikan
referensi dalam upaya menemukan kebenaran sejarah. Beberapa pendapat tersebut
antara lain :
1.
Perjanjian ini berlatar belakang dari penyerangan Lima
Ajatappareng ke wilayah Pitu Baqbana Binanga melalui daerah Pitu Ulunna salu.
Pitu Baqbana Binanga mengadakan perlawanan dan berhasil memukul mundur Lima
Ajatappareng hingga terdesak sampai ke Paku Pajalele (sekarang wilayah
kabupaten Pinrang). Sebagai upaya menghentikan perang, keduanya akhirnya
sepakat melakukan pertemuan dan membuat satu perjanjian di Paku Pajalele.
2.
Perjanjian ini berlatar belakang ketika seorang putra raja
Balanipa kawin dengan salah seorang putri raja Batu Lappa di Sawitto. Pertalian
kekeluargaan inilah yang akhirnya memunculkan ide untuk lebih mempererat
hubungan, bukan saja antara keluarga kedua raja tapi kedua kerajaan secara
umum.
3.
Perjanjian ini berlatar belakang dari aksi protes pihak kerajaan
Gowa karena Mandar (Pitu Baqbana Binanga) mau bersaksi bahwa Lima Ajatappareng
lebih dahulu besar/jaya di kawasan Sulawesi bagian selatan khusus di kawasan
Bugis-Makassar dari pada kerajaan Gowa.
Perjanjian ini terjadi pada abad
XVII masehi di daerah Sawitto (wilayah Ajatappareng) dengan pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian yaitu Mandar (Pitu Baqbana Binanga) dan Lima Ajatappareng
Sawitto diwakili oleh Lamakkaraka Petta Lolo.
Isi perjanjian tidak lebih dari
penyatuan pemahaman, persamaan hak, jalinan kerjasama dan persaudaraan,
keamanan dan ekonomi serta kesepakatan untuk tidak saling menyerang atau
memusuhi satu sama lain.
PERJANJIAN LANRISANG
Perjanjian ini terjadi pada penghujung abad XVII masehi di
Lanrisang (sekarang daerah Jampue kabupaten Pinrang) dengan pihak-pihak yang
berjanji yaitu Torisompae Arung Pone (raja Bone) dengan Daeng Riosoq, maraqdia
(raja) Balanipa.
Latar belakang diadakannya perjanjian ini, berawal dari penyerangan kerajaan
Bone yang bekerjasama dengan Belanda terhadap kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa
kalah dan rajanya turun tahta digantikan oleh raja Bone.
Pada awal rencana penyerangan ke kerajaan Gowa tersebut, kerajaan Bone meminta
bantuan ke wilayah Mandar, namun Mandar menolak karena konsisten dengan
perjanjian yang sudah disepakati bersama Gowa. Akhirnya, Mandar diserang Bone
hingga Soreang Balanipa (sekarang Kandeapi) dibakar habis. Kerajaan Balanipa
melakukan perlawanan dan berhasil mendesak mundur orang-orang kerajaan Bone.
Setelah Gowa berhasil dikuasai Bone dengan bantuan Belanda,
Bone kembali menyerang Mandar dan kali ini bekerjasama dengan Gowa.
Pihak Mandar jadi bingung melihat
keterlibatan Gowa dalam penyerangan kali ini, karena pada awalnya, Bone
menyerang Mandar karena dituduh bersekutu dengan Gowa. Seusai perang itulah,
Perjanjian Lanrisang dilaksanakan antara Bone dengan Mandar yang melibatkan
Pitu baqbana Binanga secara khusus.
Secara umum, isi perjanjian Lanrisang adalah kesepakatan untuk menghentikan
perang dan permusuhan kedua belah pihak serta menjalin persaudaraan dan
kerjasama terutama dalam hal menghadapi Belanda yang sudah banyak ikut campur
dalam urusan pemerintahan di kerajaan masing-masing.
Penjelasan tentang prosesi perjanjian ini tertulis dalam lontar Balanipa Mandar
sebagai berikut :
Fashlun. Engkani Menreq-e ri Lanrisang situdangeng to Bone
Menreq-e. Makkedani Menreq-e ; “Bone mua silaoang Soppeng ulaori. Metauqkaq
kassa ri Balandae”.
Makkedani Arung Pone ;”Ajaq metauq siajiang. Iyaqna sia taroiwi
Balandae. Maeloq-i mala gajang, gajannapa Bone. Maeloq-i riwarang parang,
warang parakupa nala”.
Makkedani Menreq-e ;”Iyana kiella-ellau, arolange mua
rikaraengnge kiarolai ri Bone. Kuwae topa kipo rapangnge rapammeng,
enrengnge topa kipo bicarae bicarammeng, kipoadaq-e adammeng”.
Makkedani Arumpone ;”Upappada mua tanae ri Bone tanae ri Menreq
usapparanna deceng. Masse ajimuiq sia. Padaniq marola ri petta Nabie Muhammad
s.a.w, pada pobicaraiq bicaratta, pada porapangngiq rapatta, pada lete ri
petawung majekkota, tessi acinnangnge ri abeccukang tessi acinnangngeto ri
arajang. Tessi pataqde waram parangngiq, tessipolo tanjengngiq, tessi tato
lariwiq. Makkedai Bone nama teppaq Menreq-e, makkedai Menreq nama teppaq Bone.
Koniro assituru senna Bone Menreq-e ri lalenna ceppae ri Lanrisang. Inai
Arumpone, Torisompae. Inai maraqdia Balanipa, Idaeng Riosoq.
Terjemahan :
Fasal. Sudah hadir Mandar di Lanrisang, duduk bersama dengan
Bone Mandar. Berkata Mandar ;”Bone saja bersama Soppeng yang kami datangi. Kami
takut pada Belanda”.
Berkata Arung Pone ;”Jangan takut saudaraku. Kamilah yang jadi
bork (jaminan) pada Belanda. Kalau dia mau ambil keris, nanti keris Bone yang
diambil. Dia mau ambil harta, nanti hartaku yang diambil”.
Berkata Mandar ;”Itulah harapan kami, agar cara kepatuhan kami
pada karaeng (Gowa/pen), yang jadi kepatuhan kami ke Bone. Begitu juga kami
tetap pakai peraturan kami, dan juga kami punya hak bicara tetap kami pakai,
kami pakai hukum kami”.
Berkata Arung Pone ;”Saya samakan tanah Bone dengan tanah
mandar, sama-sama saya carikan kebaikan, karena kita adalah berfamili. Samalah
kita tunduk pada Nabi kita Muhammad s.a.w, kita sama-sama memakai peraturan
kita, sama-sama meniti pada pematang (hukum/pen) lurus kita dan sama-sama
menyelesaikan sendiri kemelut hukum kita, saling tidak iri pada kekecilan,
tidak pula pada kebesaran. Kita tidak saling menghilangkan harta, juga kita
tidak saling keras mengerasi, tidak perlu saling dongkel mendongkel. Berkata
Bone Mandar percaya, berkata mandar Bone percaya. Begitulah kesepakatan Bone
dengan Mandar dalam Perjanjian Lanrisang. Siapa raja Bone, Torisompae. Siapa
raja Balanipa, Daeng Riosoq.
PERJANJIAN SALEMO
Perjanjian ini terjadi pada sekitar abad XVIII masehi di Salemo (sekarang
daerah Segeri kabupaten Pangkep) anatara raja Bone yaitu Tomalempeq-e Gemmeqna
dengan Tomatindo Dilangganna raja Balanipa.
Latar belakang diadakannya perjanjian berawal dari larinya Addatuang Pulingka
yang dikejar oleh Bone sebagai seorang buronan. Addatuang Pulingka lari ke
Mandar (Balanipa) dan berhasil diamankan oleh Tomatindo Dilangganna raja
Balanipa.
Untuk penyerahan Addatuang Pulingka inilah, Mandar (Balanipa) dalam hal ini Tomatindo
Dilangganna sepakat mengadakan pertemuan dengan pihak Bone dalam hal ini
Tomalampeq-e Rigemmeqna yang diadakan di Salemo.
Selain penyerahan buronan tersebut, isi perjanjian lebih banyak pada hubungan
kerjasama antar kedua kerajaan serta ikrar persaudaraan sehidup semati tanpa
saling mencampuri urusan pemerintahan dalam kerajaan masing-masing.
Sejak dari perjanjian ini juga, Mandar yang tidak mau diganggu dan tidak mau
berhubungan langsung dengan Belanda semakin mempercayakan Bone untuk menjadi
penengah atau penghubung bila Belanda memerlukan Mandar seperti yang disepakati
dalam perjanjian sebelumnya yaitu perjanjian lanrisang.
Itulah sebabnya, sejak dari abad XVII masehi sampai abad XX masehi, Mandar
tidak diperintah langsung oleh Belanda tapi melalui perantaraan Bone dan tidak
pernah mengadakan perjanjian dengan Belanda selain dengan kerajaan-kerajaan
lain. Nanti pada abad XX masehi, barulah Belanda berhasil menginjakkan kaki di
Mandar, tepatnya di Majene ibu kota afdeling Mandar, tepatnya tahun 1904
masehi.
Dalam lontar Balanipa Mandar, prosesi Perjanjian salemo ditulis sebagai
berikut.
Fashlun. Pannassaengngi ulu adae ri Salemo. Iya purana rilero
Aqdatuangnge Ripulingka nalari ri Menreq naritiwiq ri Salemo. Nakko maniro ri
Salemo riuno.
Nasitudangenna to Bone Menreq-e. Makkedani Arung Pone Malampeq-e
Gemmeqna ;Tennamenengnge kuakku ri Jawa, nangka tau pappadamaq
manuq-manuqnapatangka ri langiq-e, kuapaq ri tengngana Bone kumapateppaq-iaq
nau pappadangngi pappadecemmu Maraqdia. Makkada tompi Arung Pone ; Tenna
menengngi kuakku ri Jawa nangka nangka tau pesellukkaq ripere tiwiq-e,
kua-kuapaq ritengngana Bone kunappa ompoq, iya kupappadangngi pappedecenna
maraqdia. Iya nangka adae ; Bone uraiq, Menreq alauq. Menreq uraiq, Bone alauq.
Iyana nakkeda Arung Pone ; Nigi-nigi makkeda sisalai Bone Menreq, tassappaq-i
taunoi, mauni nannippi mua namau toni rilaleng pettang, makkeda sisalai Bone
Menreq sesseq-i tauanoq-i. Makkeda Arung Pone ; Dekko kuaq ri Bone, ri Cendana
areqga, napoleio uqdani ri Bonemu, kego-kego monro muqdani, kuago ri
Jumpandang, kuago ri Pare-pare, kuago ri Menreq muassuro, kulao sitakko.
Makkeda toi Arung Pone ; Rekko rukka riwanuakku mua, tenna leleio
billaq-billaq, passangadinna eloq rialemu, tekku angkaq-o sia.
Kuaniro assi turusenna Arung Pone Malampeq-e Gemmeqna, maraqdia
ri Balanipa Matinroe Ri Langganna, iyamuto riaseng Toummondong, kua ri Salemo.
Aga dekko to Bone nalao ri Menreqni. Menreq-e nakko ri Bone, to Boneni. Apaq
masseajing serrajai Bone tanae ri Menreq. Kuaniro ada-adanna ulu adae ri
Salemo. Tammat.
Terjemahan :
Fasal. Yang menjelaskan kepala kata (perjanjian/pen) di Salemo.
Tatkala Aqdatuang di Pulingka melarikan diri dan di buru ke Mandar, dibawalah
dia ke Salemo, disanalah dia dibunuh.
Duduk bersamalah Bone dengan mandar. Maka berkata raja Bone,
Malampeq-e Gemmeqna ; Andai kata saya di Jawa, kemudian ada orang menjadikan
saya burung kemudian saya diterbangkan ke langit, nanti saya di Bone baru saya
diturunkan, saya samakan kebaikanmu padaku maraqdia. Berkata lagi Arng pone ;
Andaikata saya di Jawa kemudian ada orang yang bisa memasukkan saya ke dalam
bumi, nanti saya persis di tengahnya Bone baru saya muncul ke atas, demikian
itulah tamsil kebaikanmu padaku maraqdia. Itulah sehingga kukatakan ; Bone di
bawah Mandar di atas, Mandar di bawah Bone di atas. Itulah sehingga Arung Pone
berkata ; Barangsiapa berkata Bone berselisih (bertikai) dengan Mandar, carilah
orang itu kemudian bunuhlah, walau hanya dia mimpi serta walau orang itu masih
dalam kandungan, belahlah perutnya lalu buang jabang bayi itu. Berkata Arung
Pone ; Kalau saya di Bone, apakah di Cenrana, kemudian engkau rindu ke ke
Bonemu, dimana saja engkau rindu, apakah engkau di Ujung Pandang, atau di
Parepare, atau engkau berada di mandar, lalu engkau menyurat jemput, saya akan
datang menemuimu. Berkata juga Arung Pone ; Kalau hanya keributan dalam
daerahku saja, engkau tidak akan kebagian keributan itu, kecuali engkau sendiri
yang mau datang menjengukku, saya tidak keberatan.
Begitulah kesepakatan Arung Pone Malampeq-e Gemmeqna, dengan
Maraqdia balanipa Tomatindo Dilangganna, itu juga yang digelar Toummondong di
Salemo. Kalau Bone ke Mandar, berarti dia adalah mandar. Kalau orang Mandar ke
Bone berarti dia adalah orang Bone. Karena antara Bone dengan Mandar,
bersaudara sederajat, sama besar Bone dengan tanah mandar. Begitulah
kata-katanya kepala kata di Salemo. Tamat.
PERJANJIAN UJUNG PANDANG
Perjanjian Ujung Pandang adalah perjanjian ketiga antara
kerajaan Bone dengan kerajaan-kerajaan di Mandar. Dalam perjanjian ini, secara
khusus diikuti oleh kerajaan-kerajaan di Pitu Baqbana Binanga dengan agenda
yang dibuat oleh kerajaan Bone yaitu ; Membujuk kerajaan-kerajaan di Pitu
baqbana Binanga untuk tunduk dan mau bekerjasama dengan kompeni Belanda.
Belanda mendekati Pitu baqbana Binanga melalui perantaraan Bone dengan harapan
Mandar (Pitu baqbana Binanga) akan mematuhi perkataan Bone berdasarkan
kesepakatan yang diambil pada perjanjian Salemo dan perjanjian Lanrisang.
Pada dasarnya, perjanjian ini dicetuskan dan dilaksanakan oleh Belanda hingga
pelaksanaannya dilakukan di Ujung Pandang dengan tujuan utama menaklukkan
wilayah Mandar. Namun rencana tersebut tidak berhasil karena dalam
pertemuan tersebut, tujuh kerajaan di Pitu baqbana Binanga dengan juru
bicaranya Maraqdia (raja) Sendana menolak secara tegas bujukan raja Bone untuk
tunduk pada pemerintahan Belanda.
Perjanjian Ujung Pandang berlangsung pada abad XVIII masehi di Ujung Pandang
dengan pihak yang terlibat adalah kerajaan Bone dan tujuh kerajaan di Mandar
yang tergabung dalam wilayah persekutuan Pitu Baqbana Binanga.
Kesepakatan yang dihasilkan dalam perjanjian ini sangat jauh dari keinginan
Belanda karena Pitu Baqbana Binanga menolak mentah-mentah permintaan kerajaan
dan bahkan sebaliknya, pihak Pitu Baqbana Binanga menegaskan prinsip yang tak
mau tunduk atau bekerjasama dengan Belanda. Keutusan inipun akhirnya dimaklumi
dan diterima oleh pihak kerajaan Bone dengan disaksikan oleh pihak Belanda lalu
diatuangkan sebagai isi kesepakatan dalam perjanjian ini.
Secara umum, penegasan dan pernyataan sikap Pitu Baqbana Binanga (Mandara)
dalam Perjanjian Ujung Pandang adalah sebagai berikut ;
1.
Belanda tidak boleh datang ke Mandar untuk membangun loji di
baurung, Rangas dan mampie ataupun dengan maksud-maksud yang lain.
2.
Mandar tidak mau berhubungan dengan Belanda, kecuali dengan Bone
sesuai isi perjanjian Lanrisang dan perjanjian Salemo.
3.
Adat istiadat Mandar tidak boleh diintervensi oleh Belanda
ataupun Bone.
4.
Musuh Bone adalah juga musuh Mandar.
5.
Mandar akan melawan jika Bone dan Belanda mengingkari
kesepakatan.
Perjanjian Ujung Pandang lebih jauh
dijelaskan dalam lontar Balanipa mandar sebagai berikut :
Terjemahan : (Bahasa yang dipakai dalam lontar adalah
bahasa Bugis)
Fasal. Yang menjelaskan kitab yang
membicarakan pada saat Mandar Pitu Baqbana Binanga ke Ujung pandang. Enam bulan
kami di Ujung pandang di masukkan ke kota, adalah juga raja Bone bersama
Kompeni.
Berkata Raja Bone ; Seluruh mandar
sudah hadir ?
Berkata Mandar ; Kami seluruh
Mandar hadir. (Pitu Baqbana Binanga)
Berkata raja Bone ; Bagaimana
pertimbanganmu semua di Pitu baqbana Binanga, karena saya kehendaki kalian
mandar, menghadap (takluk/pen) kepada kompeni.
Berkata Mandar ; Terserah pada
Bone, asalkan menurut adat kami yang diberikan pada kami.
Berkata Arung Pone ; Saya ingin kalian
Mandar takluk kepada kompeni.
Berkata Mandar Pitu Baqbana Binanga
; Hal yang tidak pernah jadi kebiasaan kami menyembah pada kompeni. Karena
tidak demikian kata yang kita sepakati di Lanrisang. Kami takut pada belanda.
Berkata Arung Pone ; Jangan takut
saudaraku pada Belanda. Nanti saya yang jadi jaminan pada Belanda.
Berkata Kompeni ; Ambilkan buku
juru bahasa, yang ada memuat pesan-pesan leluhurnya raja Balanipa. Diambil buku
itu oleh juru bahasa, kemudian dibacanya bersama bakkorok (aparat pemerintah
Belanda/pen).
Berkata raja Sendana ; Itu adalah
hal yang kami tidak biasakan juru bahasa Emi, Imbari, harus Bone yang suruh.
Karena kami Pitu Baqbana Binanga, begitulah adat leluhur kami, bangsawan
pendahulu kami. Jangan engkau dengar perkataan Belanda, kalau tidak dari Bone.
Begitulah kesepakatan adat kita di Salemo, antara Bone dengan Mandar.
Bokkorok tidak mau membawa surat
pada Bone, karena dicegah raja Sendana.Maka berkata juru bahasa Iempi, Imbari ;
Mengapa raja Sendana melarang surat dibaca Arung Pone ? Raja Sendana ingin
merobek surat itu ketika ia dengar dibacakan.
Dan jengkellah raja Bone kepada
mandar dan berkata ; Mengapa engkau larang suratnya dibaca orang besar, Mandar
? Maukah engkau melawan Bone bersama Belanda Maraqdia ?
Berkata raja Balanipa ; Terserah
pada kemauan Bone itulah yang kami turuti, asalkan sesuai dengan adat kami yang
diberikan kepada kami. Kami tidak mau kalau kami disuruh takluk kepada Belanda,
karena bertentangan dengan adat leluhur kami yang diamanahkan oleh bangsawan terdahulu
kami.
Jengkellah raja Bone kepada raja Sendana. Berdirilah raja Bone dan berkata ;
Jangan engkau besar bicara di depan orang besar Maraqdia. Mari kita keluar
untuk bicara untuk bicara di luar, kalau engkau tidak mau patuhi perkataan
Belanda.
Maka raja Sendana membenahi letak kerisnya disampingnya (diselipkan di
pinggangnya) lalu keluar ke pekarangan rumah kompeni, maka duduk berhadapanlah
raja Bone dengan mandar (raja Sendana) berunding.
Berkatalah raja Bone ; Saya sangat
suka perkataan engkau Maraqdia die pan kompeni, atas konsekuensimu pada adat
leluhurmu, yang telah disepakati dengan Bone (Perjanjian Lanrisang dan
Salemo/pen). Biar engkau diputar balik oleh Belanda, tapi pendirianmu tetap
tidak goyah.
Belum selesai pembicaraan raja
Bone, datanglah juru bahasa Empi, atas perintah tuan besar. Kata Empi ; Engkau
tentu bersekongkol saudaramu, raja Bone. Maka jawab raja Bone ; Saya tidak
bersekongkol dengan saudaraku, hanya karena adanya kehendak kompeni, tapi raja
Sendana menganggap bertentangan dengan adat kebiasaannya, karena dia tidak
biasa berurusan dengan Belanda.
Berkata juga juru bahasa ; Mandar
dikehendaki supaya ambil cap, kalau ia ke Jakarta, tapi Mandar tidak mau. Biar
hanya kelapanya saja yang diambilkan cap ke Jakarta. Dikehendaki juga kompeni,
supaya Mandar mengambil surat masuk di Maros, di Segeri para pedagangnya, tapi
raja Sendana menolak, karena hal itu tidak dibiasakan oleh para pedagangnya.
Dan dikehendaki juga tuan besar supaya Belanda ke Mandar untuk menempatkan loji
di Baurung, Rangas, Mampie, tapi raja Balanipa beserta semua raja lainnya dari
Pitu Baqbana Binanga menolaknya.
Dalam hal itu, raja Sendana berkata
; Kalau engkau sudah pergi ke Mandar menempatkan loji, berarti batallah
Perjanjian Lanrisang.
Seusai mandar berkata demikian,
kembalilah juru bahasa kepada kompeni menyampaikan segala protes/penolakan
orang Mandar Pitu Baqbana Binanga. Maka Belanda menyuruh juru bahasa kembali ke
raja Bone, lalu kata juru bahasa kepada raja Bone ; Oh, Maraqdia, engkau telah
pada kebaikan, terhindar dari keburukan, wahai raja Sendana atas sikapmu ke
Bone. Sehabis itu, berkata lagi raja Bone ; Wahai Maraqdia, panggillah seluruh
raja dari Pitu baqbana Binanga.
Duduk
semua lagi kembali raja-raja dari Pitu Baqbana Binanga (Mandar) berhadapan lagi
raja Bone dengan Mandar. Berkata raja Bone ; Saya berbeda pendapat dengan raja
Sendana, raja Balanipa. Bagaimana juga pendapatmu, karena raja Sendana tidak
mau mematuhi keinginan Belanda. Apakah penolakan raja Sendana pada kehendak
Belanda itu kalian setujui di Pitu baqbana Binanga, atau tidak disepakati ?
Karena Bone tidak mungkin berpisah dengan Belanda.
Maka berkata raja Balanipa ; Apa yang dikatakan oleh yang kakak, raja Sendana,
itulah yang saya setujui.
Berkata juga raja Majene (Banggae/pen) ; Itu sudah kata yang kami sepakati,
yang diucapkan oleh raja Sendana, karena dialah orang tua kami.
Berkata juga raja Mamuju ; Barangsiapa yang tidak membenarkan apa yang
dikatakan ibuku (Sendana/pen), walaupun sesamaku Mandar, itulah musuhku.
Berkata raja Pamboang, raja Tapalang, raja Benuang ; Apa-apa yang diputuskan
oleh ibu bapak kami (Sendana – Balanipa/pen), itu pulalah keputusan kami.
Berkata raja Bone ; Tak usah perkataan raja Sendana yang kalian turuti, karena
itu (raja Sendana) mau menanggung resiko/akibatnya baik dari Bone maupun dari
kompeni, jika bukan berdasarkan kebiasaan antara Mandar dengan Bone, ia
tidak mau ikuti.
Maka kata semua raja Mandar ; Apakah akan berakibat buruk atau berakibat baik
ketegasan raja Sendana itu, kami setujui dan itu jugalah pendirian kami, karena
dialah orang tua kami.
Itulah yang saya saksikan dari kalian, dimana menganggap orang tua, apa yang
jadi perbuatannya itu jugalah yang jadi perbuatanmu. Apa yang dia ucapkan, itu
jugalah yang jadi ucapan kalian. Malah saya berkata kalian lebih maju hari ini
dari pada bangsawan kalian terdahulu. Selanjutnya raja Bone berkata kepada
Tomarilaleng ; Saksikanlah itu, Tomarilaleng Malolo, diketahui Bone, Kompeni,
raja balanipa.
Setelah itu, berkata lagi raja Bone kepada Mandar ; Hai semua raja di Pitu
baqbana Binanga, jangan kalian berbeda pendapat bersaudara di Pitu Baqbana
Binanga. Berkata lagi raja Bone ; Yang saya anggap baik Maraqdia, supaya kita
perbaharui pembicaraan adat bangsawan leluhur terdahulu kita, antara Mandar
dengan Bone, disaksikan kompeni.
Berkata raja Sendan ; Apa yang dimaksud membaharui pembicaraan/adat leluhur
terdahulu kita ?
Berkata raja Bone ; Cabutlah keris, kemudian berjanji dengan Bone dan Kompeni.
Berkata raja Bone ; Hai Maraqdia, engkau pada kebaikan tidak pada keburukan,
kalau engkau mau cabut keris dan berjanji dengan kompeni.
Maka berkata raja Balanipa ; Kami tidak mau berjanji dengan Belanda, karena
tidak dibiasakan oleh nenek moyang kami di Mandar, mencabut keris dan berjanji,
kalau bukan kehendaknya dengan Bone.
Berkata raja Bone ; Saya kehendaki padamu untuk mencabut keris, adatmu yang
diberikan kesana (Mandar). Kompeni tidak akan merusak/merubah adatmu diatas
saksi bumi dan langit.
Maka berkatalah Mandar Pitu baqbana Binanga ; Kegembiraan dan kelegahanlah yang
kami rasakan, asalkan adat kami tidak dirusak dan segalanya tidak bertentangan
dengan adat kebiasaan kami.
Selanjutnya Pitu Baqbana Binanga
berkata ; Kami ikut pada kemauan Bone, sepanjang adat kami yang jadi aturan.
Maka berdirilah raja Bone menuju ke
depan kompeni, ketika selesai mencapai kesepakatan dengan Mandar, sesuai
kesepakatan Bone Mandar (perjanjian Lanrisang dan Salemo).
Berkata raja Bone ; Datanglah
kemari Maraqdia. Kemudian cabutlah keris, kita berjanji disaksikan kompeni,
musuhnya Bone musuhnya juga orang mandar Pitu Baqbana Binanga.
Berkata Mandar ; asal berdasarkan
adat kami, betullah itu.
Sehabis itu, berdirilah raja
Balanipa mencabut kerisnya, kemudian digarukkan pada air, lalu katanya ;Ini
kerisku yang kugarukkan air, di luar menggerebek masuk, di dalam menggerebek ke
luar kalau Bone dan Belanda mendustai kami.
Berkata juru bahasa Empi ; Engkau
telah pada kebaikan dan tidak pada keburukan atas ikrarmu Maraqdia.
Berdirilah raja Sendana, raja
Mamuju, raja Tapalang, raja Pamboang, raja Majene, raja Benuang mencabut
kerisnya dan berkata ; Kami semua raja meminta pada Bone agar tidak merubah
adat kebiasaan leluhur moyang kami di Pitu baqbana Binanga.
Begitulah isi perjanjian di kota
(Ujung Pandang/pen). Berkata raja Bone ; Kuatlah kerajaan/raja Balanipa, karena
telah disaksikan Bone, kompeni. Selanjutnya raja Bone berkata ; Jangan bertikai
kalian bersaudara di Pitu baqbana Binanga. Tamat.
PERJANJIAN MALUNDAQ
(Pura Loa di Malundaq)
Perjanjian
Malunda merupakan perjanjian pertama yang diadakan secara resmi antara Pitu Ulunna
Salu dengan Pitu Baqbana Binanga. Perjanjian ini terjadi pada abad XVII masehi
di Malundaq dengan pihak-pihak yang terlibat yaitu tujuh kerajaan yang ada
dalam wilayah persekutuan Pitu Ulunna salu dan tujuh kerajaan yang ada dalam
wilayah persekutuan Pitu baqbana Binanga. Perjanjian ini sampai sekarang
dikenal dengan ; Pura Loa di Malundaq.
Ada tiga versi pendapat tentang tujuan diadakannya perjanjian Malundaq, yaitu :
Pertama ; Versi dari
pihak Pitu Ulunna Salu yang mengatakan bahwa Perjanjian Malundaq diadakan
sebagai upaya menyelesaikan sengketa Balanipa dengan Rante Bulahang sebagai
daerah/wilayah yang bergelar Indo Lembang dan Tomaqdua Taking Tomattallu
Sulengka di Taq-ang.
Kedua ; Versi dari
pihak Pitu Baqbana Binanga yang mengatakan bahwa Perjanjian Malundaq diadakan
dalam upaya menyelesaikan perbedaan pendapat antara Pitu Ulunna Salu dengan
Pitu Baqbana Binanga mengenai Lalikang Tallu di Malundaq serta Lante samballa
di Taq-ang.
Ketiga ; Versi dari
beberapa sumber yang mengatakan bahwa Perjanjian Malundaq diadakan untuk
membicarakan tentang daerah paliliq Massedang yang statusnya tidak menentu
antara di Pitu Ulunna Salu atau di Pitu Baqbana Binanga atau lebih tepatnya
berada pada posisi netral.
Untuk membuktikan versi atau pendapat mana yang benar dari ketiga
pendapat tersebut, sampai sekarang belum ada data akurat yang bisa dijadikan
pegangan untuk menentukannya. Namun tidak tertutup kemungkinan, ketiga pendapat
tersebut semuanya benar dalam artian ketiga masalah tersebut memang menjadi
agenda utama yang dibicarakan dalam pertemuan/perjanjian Malundaq atau Pura Loa
di malundaq.
Dari data tertulis (lontar) dan input dari beberapa informan, baik di Pitu
Ulunna salu maupun di Pitu baqbana Binanga untuk sementara dapat disimpulkan
bahwa kesepakatan yang dihasilkan dalam Perjanjian Malundaq adalah kesepakatan
tentang persatuan dan kesatuan serta kerjasama antara dua wilayah persekutuan
terutama dalam bidang keamanan dan ekonomi serta kehidupan sosial masyarakatnya
dengan catatan tidak saling mencampuri dalam hal pemerintahan dan adat istiadat
masing-masing.
Seperti yang diungkapkan oleh Puaq Tanniagi, sejarawan dan budayawan Sendana
sebagai berikut :
Moaq siruppaq-i uwai lembang annaq uwai leqboq, lembang
tammasing leqboq tamma tawar. Padza niposoei soetaq, nipaq jappa jappataq,
padza nipeadaq adaqtaq, niperapang rapattaq, padza moneteiq di petawung
tarraqbataq, padza mandandang bassiq nipagittirtaq, di Pitu Ulunna Salu di Pitu
Baqbana Binanga.
Terjemahan :
Bila air sungai dan air laut bertemu, air sungai tidak menjadi
asin dan air laut tidak menjadi tawar. Masing-masing bebas menjalankan aturan,
hukum serta adat istiadat di wilayah masing-masing tanpa ada campur tangan dari
pihak lain.
Pertemuan air sungai dan air laut dalam kesepakatan ini adalah gambaran
bertemunya (bersatunya) Pitu Baqbana Binanga dengan Pitu Ulunna salu dalam arti
bahwa mereka tidak akan saling mencampuri sistim pemerintahan, hukum serta adat
kebiasaan masing-masing.
Pitu Baqbana Binanga memata di Mangiwang, Pitu Ulunna Salu
memata di Sawa.
Terjemahan :
Pitu Baqbana Binanga mengintai dan mengawasi ikan Hiu, Pitu
Ulunna Salu mengintai dan mengawasi ular)
Isi perjanjian ini menggambarkan kesepakatan pada bidang keamanan dimana
kerajaan-kerajaan yang ada diwilayah persekutuan Pitu Baqbana Binanga bertugas
menjaga serta membendung ancaman musuh yang datang dari arah lautan/pesisir
(digambarkan dengan ikan hiu) dan kerajaan-kerajaan yang ada diwilayah
persekutuan Pitu Ulunna salu menjaga serta membendung ancaman musuh yang datang
dari arah hutan/gunung (digambarkan dengan ular).
Iya-iyannamo mamboeq pura loa, laraqba beang larumbang
kola-kola. Moaq diandi nasesa dewata, tammatawar di lembang tammasing di
leqboq, tanni paqbati pennannaranna.
Terjemahan :
Barangsiapa yang mengingkari perjanjian/kesepakatan, hidup dan
keturunannya akan punah. Kalaupun ada yang tersisa, tidak tawar di sungai tidak
asin di laut, keturunannya akan hidup sia-sia.
Isi kesepakatan ini menggambarkan sumpah dari kedua belah pihak yang akan setia
memegang dan mematuhi kesepakatan yang telah dibuat dengan menjadikan keturunan
(keluarga secara turun temurun) sebagai tumbal bila mengingkarinya.
PERJANJIAN LAKAHANG
(Passullurang Bassi Di Lakahang)
Perjanjian Lakahang atau
Passullurang Bassi di Lakahang terjadi pada sekitar abad XVII masehi sesudah
terjadinya penumpasan kerajaan Pasokkorang dan diadakannya Perjanjian Malundaq
atau Pura Loa di Malundaq. Perjanjian ini dilaksanakan dengan tujuan utamanya
menyelesaikan kesalah pahaman yang terjadi antara Aralla dan Balanipa.
Pemicu terjadinya kesalah pahaman antara dua kerajaan yang berbeda wilayah
persekutuan tersebut (Aralle di Pitu Ulunna salu, Balanipa di Pitu babana
Binanga) adalah tindakan Aralle yang menampung orang-orang Passokkorang yang
melarikan diri karena kalah perang. Sikap Aralle ini diangap oleh pihak
Balanipa sebagai tindakan yang melanggar kesepakatan dalam perjanjian Malundaq
dan perjanjian lainnya.
Sementara dari pihak Aralle mengambil tindakan tersebut hanyalah sebagai satu
taktik dengan pertimbangan ; Dari pada pelarian perang dari kerajaan
Passokkorang tersebut dibiarkan melarikan diri ke hutan-hutan dan suatu waktu
bisa menyusun kekuatan lagi, lebih baik ditampung dengan segala persyaratan
yang membatasi ruang gerak mereka.
Dalam upaya memperbaiki kesalah pahaman tersebut, semua kerajaan di wilayah
persekutuan Pitu Baqbana Binanga dan Pitulunna salu sepakat mengadakan satu
pertemuan di Lakahang. Pertemuan ini merupakan pertemuan atau perjanjian resmi
kedua antara Pitu Ulunna Salu dengan Pitu baqbana Binanga.
Secara lengkap, kesepakatan yang dihasilkan dalam Perjanjian Lakahang atau
Passullurang bassi di Lakahang adalah sebagai berikut :
1.
Moaq mettamai jangang-jangang
merriqbaqna litaq di Balanipa di Pitu Ulunna salu, anunna tomo tia. Iya kia
napessangngi litaq di Balanipa. Malai napepembaliq, eloq dialawenapa Pitu
ulunna Salu, tannisio tanniperau.
Terjemahan :
Bila merpati lepasnya Balanipa Balanipa masuk di wilayah Pitu
Ulunna salu, maka sudah jadi miliknya tetapi harus diberitahukan pada Balanipa.
Boleh dikembalikan dengan kemauan sendiri, tanpa disuruh tanpa diminta.
Merpati lepas yang dimaksud adalah orang-orang Passokkorang yang
menjadi tawanan atau pelarian perang.
2.
Tallung parapaqna Paliliq Massedang
marannu di Pitu Ulunna Salu, separapaqna marannu di Pitu Baqbana Binanga.
Terjemahan :
Tiga perempat wilayah Paliliq Massedang (lembang Mapi) ingin
bergabung di Pitu Ulunna salu dan seperempatnya ingin bergabung ke Pitu Baqbana
Binanga.
3.
Moaq diang tosisala bikkung sisala
batta uwase tassi tundang matadzang tassi royong masandeq. Sipatuppu diadazaq
sipalete dirapang, odzi adzaq adzibiasa di Pitu Ulunna di Pitu Baqbana Binanga.
Terjemahan :
Bila ada perbedaan pendapat tentang pengelolaan perkebunan atau
pertanian, tidak akan diselesaikan dengan kekerasan, tapi secara hukum dan
peraturan yang ada sesuai adat kebiasaan di Pitu Ulunna Salu di Pitu baqbana
Binanga.
4.
Sisaraqpai mata malotong annaq mata
mapute annaq mala sisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga.
Terjemahan :
Nanti terpisah antara mata hitam dan mata putih baru bisa
terpisah antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga.
PERJANJIAN SUNGKIQ
Perjanjian Sungkiq atau Pura Loa di Sungkiq terjadi pada abad XVIII masehi
dengan agenda utama yaitu penyelesaian masalah Paliliq Massedang yang
wilayahnya terbagi antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga sebagaimana
kesepakatan yang diambil pada Perjanjian Lakahang.
Ternyata, kesepakatan yang membagi wilayah Paliliq Massedang dengan tiga
perempat bergabung ke wilayah persekutuan Pitu Ulunna salu dan seperempat ke
wilayah persekutuan Pitu Baqbana Binanga pada Perjanjian Lakahang tersebut
telah menimbulkan masalah, baik antara Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana
Binanga maupun dalam wilayah Paliliq Massedang sendiri.
Untuk meredam komplik yang terjadi, maka disepakati diadakan pertemuan di
Sungkiq dan dalam pertemuan tersebut wilayah Paliliq Massedang kembali
disatukan dan diberi kekuasaan atau hak penuh untuk menentukan pilihan mau
bergabung kemana. Paliliq Massedang ternyata memilih bergabung ke Pitu Ulunna
Salu. Dalam perjanjian inilah muncul istilah ; Pitu Ulunna Salu
Kakaruanna Tiparittiqna Uhai Pitu Baqbana Binanga.
Jadi secara administrasi, kesepakatan yang diambil pada Perjanjian Sungkiq
yaitu bergabungnya Paliliq Massedang ke wilayah Pitu Ulunna Salu tidak merubah
nama Pitu (tujuh) Ulunna Salu menjadi Arua (delapan) Ulunna Salu tapi Paliliq
Massedang bergelar Kakaruanna Tiparitiqna Uhai di wilayah persekutuan Pitu
Ulunna Salu (PUS).
Sejak dari kesepakatan yang diambil dalam Perjanjian Sungkiq tersebut, wilayah
Mandar pada umumnya dikenal dengan istilah ; Pitu Ulunna Salu Kakaruanna
Tiparittiqna Uhai Pitu Baqbana Binanga.
Secara lengkap, Perjanjian Sungkiq dijelaskan sebagai berikut :
Pura Loa di Sungkiq
- Paliliq Massedang
menjari Kakaruanna Tiparittiqna Uhai di Pitu Ulunna Salu, menjarimi Pitu Ulunna
Salu Kakaruanna Tiparittiqna Uhai, Pitu Baqbana Binanga.
- Padza maq-ammong
tambaqbar allewuang di Lakahang, tettopa pura loa di Malunda. Metettes
dipamulanna, matettes laeng dua pai dimundinna.
- Sisolong
siponayoi, silua siammeq tassi kira-kira, sirrondong bocoq mammesa paqdisang,
sipalete diapiangang tassi palete diakkadzakeang, Pitu Ulunna Salu Kakaruanna
Tiparittiqna Uhai, Pitu Baqbana Binanga.
Terjemahan :
- Daerah Paliliq
Massedang (Lembang Mapi-Tuqbi/pen) jadi tetesan air kedelapan di Pitu Ulunna
Salu (menjadi satu bagian yang sejajar/pen) hingga menjadi Pitu Ulunna Salu,
Kakaruanna Tiparittiqna Uhai, Pitu Baqbana Binanga.
- Masing-masing
pihak menggenggam erat isi perjanjian Lakahang, begitu juga isi Perjanjian
Malunda dengan keteguhan hati yang kuat dari semula dan lebih kuat lagi
dikemudian hari.
- Selalu kunjung
mengunjungi, bergaul akrab tanpa saling iri, sekelambu dan sebantal, saling
membawa pada kebaikan tidak saling membawa pada keburukan, antara Pitu Ulunna
Salu, Kakaruanna Tiparittiqna Uhai dan Pitu Baqbana Binanga.
PERJANJIAN ULUMANDAQ
Perjanjian Ulumandaq adalah rangkaian Perjanjian Sungkiq yang
dilaksanakan karena kesepakatan yang
diambil dalam perjanjian tersebut ternyata membawa masalah antara Pitu Ulunna
Salu dengan Pitu Baqbana Binanga yaitu tentang bergabungnya Paliliq Massedang
ke wilayah Pitu Ulunna salu.
Di Pitu Ulunna Salu, timbul semacam rasa curiga antara Bambang dengan Paliliq
karena Paliliq pernah jadi satu Lembang (wilayah) di Pitu Ulunna Salu dalam
status Goalinna Kadaneneq kemudian Paliliq keluar dan kedudukannya digantikan
oleh Bambang. Mungkin dengan bergabungnya kembali Paliliq ke Pitu Ulunna Salu,
Bambang merasa khawatir kedudukan itu akan diambil kembali oleh Paliliq.
Sedangkan di Pitu Baqbana Binanga terjadi semacam rasa kehilangan karena
masyarakat sudah banyak yang kawin mawin dengan masyarakat Paliliq dan
keakraban terjalin dengan sendirinya, termasuk adaptasi adat istiadat
masing-masing.
Dalam Perjanjian Ulumandaq ini, Paliliq Massedang akhirnya kembali masuk ke
wilayah persekutuan Pitu Baqbana Binanga dan istilah Pitu Ulunna Salu
Kakaruanna Tiparittiqna Uhai Pitu Baqbana Binanga berubah menjadi Pitu Ulunna
Salu Pitu Baqbana Binanga Kakaruanna Tiparittiqna Uhai. Namun kesepakatan ini
juga tidak merubah nama Pitu (tujuh) Baqbana Binanga menjadi Arua (delapan)
Baqbana Binanga, tapi status Paliliq Massedang di Pitu Baqbana Binanga tetap
menjadi satu wilayah kekuasaan Pitu Baqbana Binanga yang memiliki hak dan
kedudukan yang sama dengan tujuh kerajaan lainnya.
Jadi secara umum, pengertian Pitu Baqbana Binanga Kakaruanna Tiparittiqna Uhai
adalah ; Tujuh kerajaan di muara sungai ditambah kerajaan-kerajaan di wilayah
Paliliq Massedang.
Yang terlibat dalam perjanjian ini adalah ; Pitu Ulunna Salu, Paliliq Massedang
dan Pitu Baqbana Binanga.
PERJANJIAN DAMAQ – DAMAQ
(Pura Kada di Damaq-damaq)
Walaupun kesepakatan yang diambil pada pada Perjanjian Ulumandaq telah
menetapkan Paliliq Massedang masuk dalam wilayah persekutuan Pitu Baqbana
Binanga dan istilah Pitu Ulunna Salu Pitu baqbana Binanga Kakaruanna
Tiparittiqna Uhai, namun masalah belum terselesaikan dengan baik. Rasa tidak
puas antara dua persekutuan masih tetap jadi pemicu komplik antara keduanya.
Disamping itu, pengejaran terhadap orang-orang Passokkorang oleh Balanipa juga
menimbulkan kesalh pahaman Rante Bulahmang ketika pihak Balanipa sampai ke
wilayah Rante Bulahang mencari pelarian perang tersebut. Rante Bulahang mengira
akan diserang oleh Balanipa.
Dua permasalahan inilah yang melatar belakangi diadakannya Perjanjian
Damaq-damaq atau Pura Kada di Damaq-damaq tidak lama setelah diadakannya
Perjanjian Ulumandaq abad XVIII masehi. Pihak-pihak yang terlibat pada
perjanjian ini sama pada perjanjian Ulumandaq yaitu ; Pitu Ulunna Salu, Pitu
Baqbana Binanga dan Paliliq Massedang yang bergelar Kakaruanna Tiparittiqna
Uhai.
Keputusan atau kesepakatan ini yang dihasilkan dalam Perjanjian
damaq-damaq adalah : Paliliq Massedang berdiri sendiri yang memakai hukum dan
adat istiadatnya sendiri dengan syarat hukum dan adat istiadat tersebut tidak
boleh dibawa mendaki (ke Pitu Ulunna salu) dan tidak boleh dibawa menurun (ke
Pitu Baqbana Binanga). Jadi bila mereka masuk ke kerajaan lain di Mandar, baik
diwilayah Pitu Ulunna Salu maupun diwilayah Pitu Baqbana Binanga, mereka harus
ikut pada hukum dan adat istiadat daerah setempat.
Sementara kesepakatan yang diambil mengenai kesalah pahaman antara Balanipa dan
Rante Bulahang, sama dengan bunyi kesepakatan pada Perjanjian Lakahang ketika
terjadi kesalah pahaman antara Aralle dengan Balanipa dalam masalah yang sama.
Secara lengkap, isi kesepakatan dalam perjanjian Damaq-damaq atau pura kada di
Damaq-damaq adalah sebagai berikut :
1.
Tandi buttumi tandi rappaq lembong
tomi Paliliq Massedang. Naposoe soena napojappa jappana, adzaqna napeadzaq,
rapanna naperapang di litaqna. Monete di petawung marorona, nadzandang bassiq
napagittirna di litaqna. Iya kia, iqda mala napetueang napembuloloang adzaqna
tettoi rapanna.
Terjemahan :
Tidak lagi di gunung dan juga tidak di laut Paliliq Massedang.
Dia bebas dengan segala aturan dan hukum serta adat istiadatnya sendiri di
wilayahnya. Hanya saja, dia tak bisa membawa mendaki dan menurun.
Pengertian dari bunyi kesepakatan ini adalah ; Bahwa Paliliq
Massedang sudah berdiri sendiri atau tidak ikut pada salah satu persekutuan,
baik Pitu Ulunna Salu maupun Pitu Baqbana Binanga. Segala aturan dan adat
istiadatnya bebas dijalankan pada wilayahnya sendiri dan tidak bisa dibawa apa
bila masuk kewilayah Pitu Ulunna Salu atau Pitu baqbana Binanga.
2.
Metueq tassayu membulolo tammayule
eloq dialawena, tanna petueang napembuloloang adzaqna.
Terjemahan :
Mendaki boleh, menurun juga boleh, sesuai keinginan dan
kemauannya, tetapi adat kebiasaannya tidak boleh dibawa serta.
Pengertian dari bunyi kesepakatan ini adalah : Bahwa Paliliq
Massedang berada dalam posisi netral. Bila ada kegiatan, seperti musyawarah
atau pertemuan-pertemuan interen di Pitu Ulunna salu, maka dia bisa ikut
sebagai anggota Pitu Ulunna salu. Begitu juga di Pitu Baqbana Binanga.
3.
Naiya jangang-jangang merriqbaqna
Balanipa, inna-inna naenge mettopa iya womo urunganna, nana poware tomi tia
litaq napettopai. Iya kia, napaissangngi Balanipa.
Terjemahan :
Tentang merpati lepasnya Balanipa, dimana dia hinggap disitulah
sebagai sangkarnya, itu sudah merupakan milik daerah atau wilayah tempatnya
berlindung. Hanya saja, Balanipa harus diberi tahu.
Pengertian dari bunyi kesepakatan ini adalah : Bahwa tawanan
perangnya Balanipa (orang-orang Passokkorang) yang melarikan diri sudah menjadi
milik kerajaan yang wilayahnya ditempati memohon perlindungan. Hanya saja,
harus diberi tahukan pada pihak Balanipa.
Sejak dari Perjanjian Damaq-damaq inilah,
istilah Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga tidak pernah lagi dan daerah
Paliliq Massedang berdiri sendiri sejajar dengan empat belas kerajaan lainnya
di Mandar.
Jadi kenyataannya, wilayah Mandar
sesudah Perjanjian Damaq-damaq seharusnya dikatakan ; Pitu Ulunna Salu Pitu
Baqbana Binanga dan wilayah Paliliq. Dikatakan wilayah Paliliq, karena Paliliq
sendiri terdiri dari beberapa kerajaan yang lebih dikenal dengan nama : Daerah
Lembang Mapi atau daerah Tuqbi.
PERJANJIAN LUJO
(Sipamandaq di Lujo atau
Allamungang Batu di Lujo)
Perjanjian Lujo atau Sipamandaq di Lujo merupakan perjanjian terakhir yang
dilaksanakan secara resmi antara Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga
sampai masuknya Belanda di daerah Mandar pada tahun 1904 masehi.
Perjanjian ini dilaksanakan pada
abad XVIII – XIX masehi dengan tujuan utama yang tidak berbeda jauh dengan
perjanjian-perjanjian sebelumnya. Selain masih adanya pelarian tawanan perang
kerajaan Passokkorang dari Balanipa yang menimbulkan kesalah pahaman antara
Balanipa dengan Tomaqdua Taking Tomattallung Sulengka di Rante Bulahang, juga
yang paling penting dalam perjanjian ini adalah lahirnya kesepakatan
mempertegas konsekuensi persatuan Pitu Ulunna Salu engan Pitu Baqbana Binanga
dalam satu kesatuan budaya dan suku dengan sebutan Mandar. Kesepakatan ini
dikenal dengan nama “Passemandarang”.
Secara lengkap, isi Perjanjian Lujo
atau Sipamandaq di Lujo adalah :
1.
Taqlemi Manurunna peneneang
uppassambulo-bulo anaq appona di Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga,
nasaqbiq dewata diaya dewata diong, dewata di kanang dewata di kaeri, dewata
diolo dewata diwoeq, menjarimi Passemandarang.
Terjemahan :
Sudah terbukti kesaktian leluhur menyatukan anak cucunya di Pitu
Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga, disaksikan dewata di atas dewata di bawah,
dewata di kanan dewata di kiri, dewata di depan dewata di belakang, bersatulah
seluruh Mandar.
2.
Tannisapaq tanni atoning,
maq-allonang mesa melatte samballa, siluang sambu-sambu sirondong
langiq-langiq, tassi pande peoqdong, tassi padzundu pelango, tassi pelei
dipanra tassi aluppei diapiangang.
Terjemahan :
Tak berpetak tak berpembatas, bersatu bulat bertikar selembar di
bawah satu atap, tidak saling member makanan bertulang dan minuman beracun,
tidak saling meninggalkan dalam kesusahan dan tidak saling melupakan dalam
kebaikan.
3.
Sipatuppu di adaq sipalete
dirapang, Adaq Tuho di Pitu Ulunna Salu , Adaq Mate dimuane Adaqna Pitu Baqbana
Binanga.
Terjemahan :
Saling menghargai dan menghormati hukum dan peraturan
masing-masing. Hukum hidup di Pitu Ulunna Salu, Hukum Mati di suami adatnya
Pitu Baqbana Binanga/Balanipa.
4.
Saputangang di Pitu Ulunna salu,
Simbolong di Pitu baqbana Binanga.
Terjemahan :
Destar/ikat kepala di Pitu Ulunna salu, sanggul di Pitu Baqbana
Binanga.
5.
Pitu Ulunna Salu memata disawa,
Pitu Baqbana Binanga memata dimangiwang.
Terjemahan :
Pitu Ulunna Salu mengawasi ular, Pitu Baqbana Binanga mengawasi
ikan Hiu.
6.
Sisaraq pai mata malotong annaq
mata mapute annaq sisaraq Pitu Ulunna salu Pitu baqbana Binanga.
Terjemahan :
Nanti terpisah mata hitam dan mata putih baru bisa terpisah Pitu
Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga.
7.
Moaq diang tomangipi mangidzang
mambattangang tommuane namappasisara Pitu Ulunna salu Pitu baqbana Binanga,
sirumungngi anna musesseq-i, passungi anaqna annaq muanusangi sau di uwai
tammembaliq.
Terjemahan :
Bila ada orang yang mimpi mengidam/mengandung anak laki-laki
yang akan memisahkan Pitu Ulunna salu dengan Pitu Baqbana Binanga, segera belah
perutnya dan keluarkan bayi yang dikandungnya lalu hanyutkan di air tak
kembali.
Beberapa penggali dan penulis
sejarah budaya Mandar berpendapat bahwa dari Perjanjian Lujo atau
Sipamandaq di Lujo inilah cikal bakal lahirnya nama Mandar. Namun dari
bukti-bukti lontar yang ada, nama Mandar sudah ada jauh sebelum terbentuknya
Pitu Ulunna salu dan Pitu Baqbana Binanga. Hanya saja, mungkin baru popular
pada saat Perjanjian Lujo dilaksanakan.
Hanya saja, pemakaian nama Mandar
secara umum belum ada akibat adanya dua kelompok atau persekutuan, sehingga
nama Mandar seolah tenggelam dan lebih dikenal dengan Pitu Ulunna Salu Pitu
Baqbana Binanga.
Dalam Perjanjian Lujo inilah kedua
persekutuan tersebut bersepakat menjalin persatuan dan kesatuan wilayah serta
mengembalikan nama Mandar sebagai bukti dari kesepakatan kebersamaan mereka.
Itulah sebabnya Perjanjian Lujo ini lebih dikenal juga dengan istilah
Passemandarang, yang artinya Mandar keseluruhan walaupun terbagi dalam dua
kelompok persekutuan yaitu Pitu Ulunna salu dan Pitu baqbana Binanga.
PERJANJIAN TADZUANG
Perjanjian ini terjadi tanpa direncanakan baik tempat maupun agendanya, karena
kesepakatan yang diambil hanyalah kesepakatan dari pertemuan antara Maraqdia
Pamboang dengan Tokearaq atau Puang Tosiwawa Adaq dari Limboro Rambu-rambu
Sendana.
Suatu ketika, sebelum Tonisora anak Tomakakaq di Peurangang menantu raja
Puttanoeq Sendana menjadi raja resmi yang pertama di Pamboang, kekacauan
terjadi akibat serangan secara sembunyi-sembunyi dari orang atau pihak yang
tidak dikenal. Penyerang itu datang dari gunung/hutan yang setiap malam
membunuh masyarakat kerajaan Pamboang.
Datanglah utusan raja Pamboang menemui raja Sendana meminta bantuan untuk
mengatasi para pengacau tersebut. Raja Sendana mengutus dua orang Suro
tannipasang (Diplomat yang berkuasa penuh) menemui Tokearaq di Limboro
Rambu-rambu untuk diminta kesediaannya membantu raja Pamboang.
Tokearaq akhirnya berangkat ke Pamboang dengan membawa dua ekor anjing pelacak
yang bernama ibokka dan isarebong. Dalam tugas yang diemban tersebut, Tokearaq
sukses menumpas para pengacau dan memenggalalanya satu demi satu lalu dibawa ke
wilayah kerajaan Pamboang kemudian kembali ke Sendana dengan diam-diam tanpa
menemui raja Pamboang terlebih dahulu untuk berpamitan.
Mendengar laporan dari masyarakat tentang keberhasilan dan pulangnya Tokearaq
dengan diam-diam, raja Pamboang segera mengirim utusan menyusul Tokearaq dan
meminta kesediaannya untuk ke istana menemui raja pamboang sebelum kembali ke
Sendana.
Di suatu tempat, utusan raja Pamboang berhasil menemui Tokearaq yang sedang
beristirahat dan langsung menyampaikan pesan dari raja Pamboang. Namun karena
merasa lelah, Tokearaq berbalik meminta agar raja Pamboang yang berkenan
menemuinya.
Raja pamboang akhirnya berangkat menemui Tokearaq bersama beberapa pengawal dan
sepasang muda mudi yang akan diberikan sebagai tanda terima kasih.
Pada kejadian ini, tempat beristirahatnya Tokearaq mulai dikenal sebagai satu
perkampungan dengan nama Tadzuang karena pada saat beristirahat sampai
datangnya raja Pamboang ke tempat tersebut, Tokearaq sementara makan sirih
(tadzu) di atas batu.
Pertemuan antara raja Pamboang dan Tokearaq inilah yang kemudian melahirkan
beberapa kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Tadzuang atau Pura Loa
di Tadzuang.
Perjanjian Tadzuang terjadi pada sekitar abad XI / XII masehi dengan
pihak-pihak yang bersepakat yaitu :
- Raja atau yang
bergelar Tomemmara-maraqdia di pamboang
- Tokearaq atau
Puang Tosiwawa Adaq dari Limboro Rambu-rambu kerajaan Sendana.
- Sepasang
muda-mudi yang menjadi hadiah persembahan kerajaan Pamboang kepada Tokearaq.
Secara lengkap, isi Perjanjian
Tadzuang atau Pura Loa di tadzuang adalah sebagai berikut :
1.
Iyamo diq-e (mesa tommuane mesa
towaine) tanda riona litaq di Pamboang lao di Puang Tosiwawa Adaq namalluppui
namalai lao di Sendana, di Limboro Rambu-rambu.
Terjemahan :
Inilah (satu laki-laki satu perempuan) sebagai persembahan tanda
terima kasih kerajaan Pmbauang pada Puang Tosiwawa Adzaq untuk dibawa ke
Sendana, di Limboro Rambu-rambu.
2.
Nauamo Puang Tosiwawa Adaq ;
Utarimai tanda riona litaq di pambauang, nasabaq Tomemmara-maraqdia di
pambauang. Sanggadzi mesa, bei litaq ingganna naulle nauma maqguliling, nana
potuoi siola anaq appona, anna dziang naleppangngi anaq appou moaq tambaq-i
mamarangi landur.
Terjemahan :
Berkata Puang Tosiwawa Adzaq ; Saya terima persembahan dari
kerajaan Pambauang. Hanya saja, berikan mereka tanah seluas yang mampu mereka
garap disekitar sini, untuk bekal hidup bersama anak cucunya, agar ada tempat
singgah anak cucu saya bila dia haus atau lapar pada saat melewati tempat ini.
3.
Mottommoq-o diniq. Anaq appou annaq
anaq appomu iqdai mala sipaq-andei kira-kira, iqdai toi mala mupaloliq di
barung-barung moaq meloq-i mappassau occommi moaq nasambongi. Tettoi iq-o,
madzondong duambongi annaq magarringoq-o, tanni paumo moaq diang mappandeo
peoqdong namappadzunduo pelango, pellambiq-o di Sendana.
Terjemahan :
Tinggallah kalian disini. Anak cucu saya dan anak cucu kalian
tidak boleh salig iri. Jangan biarkan anak cucu saya berbaring melepaskan lelah
di atas balai-balai jika dia singgah apalagi bila mau menginap di sini. Begitu
juga kamu, bila suatu saat kamu sakit apalagi bila ada yang memberimu racun,
datanglah ke Sendana.
4.
Tanna jolloq-o taruno tanna
lalangoq-o peq-illong di litaq Pambauang, moaq taq-ilalang paq-issangannai
Sendana tanna patuppuo di adzaq tanna paleteo dirapang, otandi adzaq otandi
rapang di Sendana.
Terjemahan :
Kamu tidak bisa diperintah dan disuruh di kerajaan pambauang
tanpa sepengetahuan Sendana, juga tidak dikenakan hukum dan peraturan di
Pambauang yang tidak sesuai dengan hukum dan peraturan di Sendana.
5.
Nauamo Tomemmara-maraqdia di
Pambauang ; uammongi taq-ubaqbarang paq-annana tosiwawa adzaq, nau pappasangang
dianaq appou litaq di pambauang.
Terjemahan :
Berkata Tomemmara-maraqdia ; Saya pegang teguh segala apa yang
ditetapkan Puang Tosiwawa Adzaq dan akan kuamanahkan pada anak cucuku.
Yang dimaksud oleh Puang Tosiwawa
Adzaq atau Tokearaq diberikan tanah tersebut adalah sepasang pemuda dan pemudi
yang menjadi hadiah sebagai ucapan terima kasih kerajaan Pamboang atas
keberhasilannya menumpas para pengacau. Sepasang muda mudi tersebut tidak dibawa
ke Sendana tapi diberi kebijaksanaan untuk tinggal ditempat tersebut. Sepasang
mudi mudi inilah yang kemudian berkembang turun temurun di tempat itu yang
sekarang dikenal dengan nama Tadzuang.
Sesuai pesan Tokearaq, masyarakat
diperkampungan ini tidak diperintah oleh Tomemmara-maraqdia Pambauang tanpa
sepengetahuan Sendana dan juga tidak dikena hukum serta aturan kerajaan
Pamboang selama aturan dan hukum itu tidak sesuai dengan hukum dan aturan yang
ada di Sendana.
PERJANJIAN LOMBONG
(Assamaturuang di Lombong)
Perjanjian ini berlatar belakang dari perseteruan antara Daeng Riosoq raja
Balanipa dengan raja Pambauang yang bergelar Tomatindo di Bata. Perseteruan itu
terjadi karena Daeng Riosoq (setelah wafat bergelar Tonipilong) merebut istri
Tomatindo di Bata yang bernama Ipura Paraqbueq. Pada saat itu, Ipura Paraqbueq
merupakan wanita tercantik di seluruh Mandar sehingga mampu menggoyahkan iman
Daeng Riosoq dan merebutnya secara paksa dengan kekuatan senjata.
Akibat peristiwa ini, Tomatindo di Bata bersama para pengawalnya meninggalkan
Pambauang menuju ke Ulumandaq dan meminta bantuan pada Tomakakaq Ulumandaq
untuk mengambil kembali Ipura Paraqbueq istrinya.
Atas saran dan petunjuk Tomakakaq Ulumandaq, Tomatindo di Bata melakukan
penyamaran dengan merubah penampilannya. Dengan ditemani anjing pemburu yang
bergelar Itattibayo, Tomatindo di Bata masuk di kerajaan Balanipa menyamar
sebagai seorang Tomakakaq. Satu-satunya yang mengenalnya hanyalah Ipura Paraqbueq
dengan melihat cincin dan mendengar suaranya.
Disaat Tomatindo di Bata meminta segelas air untuk minum, Ipura Paraqbueq
menyuruh seorang nelayan mengantarkan air dalam gelas yang kemudian di bawa
kembali oleh pelayan pada Ipura Paraqbueq. Melihat cincin tersebut, Ipura
Paraqbueq sudah seratus persen yakin kalau itu adalah suaminya.
Ipura Paraqbueq akhirnya mencari akal dan berpura-pura mengidam mau makan
daging rusa hasil tangkapan suaminya sendiri. Lalu dimintanya pada Daeng Riosoq
untuk pergi berburu rusa.
Daeng Riosoq yang tidak mengetahui keadaan sebenarnya, merasa sangat bersuka
cita mendengar pengakuan Ipura Paraqbueq yang telah mengidam. Karena cinta dan
sayangnya yang teramat dalam, Daeng Riosoq akhirnya berangkat berburu dengan
meminjam anjing Tomatindo di Bata. Setelah daeng Riosoq pergi, Tomatindo di
Bata tidak menyia-nyiakan kesempatan dan segera pergi membawa istrinya ke
Ulumandaq.
Di Ulumandaq, Ipura Paraqbueq tidak bisa bertahan lama karena tidak terbiasa
makan tanpa lauk ikan. Dengan persetujuan dan bantuan Tomakakaq Ulumandaq yang
memintakan tempat di daerah pantai, maka Tomatindo di Bata bersama istrinya
serta pengawal-pengawalnya tinggal dan bermukim di Malundaq.
Dari usaha memintakan tempat bermukim ainilah terjadinya Perjanjian Lombong
atau Assamaturuang di Lombong, karena tempat diadakannya kesepakatan ini adalah
di Lombong Malundaq.
Perjanjian ini terjadi pada sekitar abad XVII masehi dengan pihak-pihak yang
terlibat yaitu :
- Tomatindo di Bata
dengan istrinya Ipura Paraqbueq
- Tomakakaq
Ulumandaq
- Pueq di Lombong,
Mosso dan Bambangang
- Tomakakaq Sambawo
- Pueq di
Salutambung, Libaq dan Balanggitang
Secara lengkap, kesepakatan yang
dihasilkan dalam perjanjian Lombong adalah sebagai berikut :
1.
Nawei engenang naengei mappassau
nyawana mappalewa anaoang paqmaiqna Maraqdia di Pambauang sappelluq-uang
tedzong ingganna naulle nakae-kaer manuqna siola palluppuinna, niwengang toi
leqboq nanaengei mandoang manjala palluppuinna, ingganna lekkotang.
Terjemahan :
Diberi tempat untuk ditempati memulihkan semangatnya,
menghilangkan kesedihan hatinya pada raja Pambauang, sekubangan kerbau sejauh
yang dapat dijelajah ayam dan pengawal-pengawalnya, juga diberi laut untuk
tempat memancing dan menjala sebatas pada kedalaman setinggi lutut.
2.
Napoadzaq adzaqna naporapang
rapanna odzi adzaq odzi biasa di litaqna di Pambauang.
Terjemahan :
Dia bebas memakai hukum dan aturan serta adat istiadatnya
sendiri, sebagaimana yang berlaku di Pambauang.
3.
Diapiangammi tandi akadzakeang,
tandi peoqdong tandi pelango tanna olleq boning tannala pangolleq, tannande
pakkira-kira tammappikkir dipettilluqna sawa dipewetona lambaru, tandi paumo
dibandangang di kondo bulo.
Terjemahan :
Dia pada kebaikan tidak pada keburukan, terhindar dari makanan
yang bertulang dan minuman yang beracun, tak terjangkau air pasang tak terkena
banjir, terluput dari iri terhindar gigitan ular, juga pada sengatan ikan pari,
lebih-lebih dari srangan musuh.
4.
Lumbang pai pasorang, reppoq pai
kondo bulo maqguliling annaq nalosai muaq diang namappakkesar.
Terjemahan :
Nanti roboh benteng pertahanan, patah remuk semua tombak dan
parang pusaka, baru musuh bisa menyentuh raja Pambauang bersama
pengawal-pengawalnya.
5.
Moaq meloq-I membaliq di litaqna,
tanna eloqna di nassa genainna, naiya engenanna membaliq diassalna.
Terjemahan :
Bila dia ingin kembali ke negerinya (Pambauang), terserah bila
sudah merasa mampu dan sanggup. Adapun perkampungan yang ditempatinya akan
kembali pada pemiliknya semula.
Pada peristiwa ini, ada yang
berpendapat bahwa selama di Malunda Tomatindo di Bata masih menjadi raja
Pambauang dan menjalankan roda pemerintahan di Malunda dan ada pula yang
berpendapat bahwa Tomatindo di Bata telah digantikan oleh raja yang lain.
Sementara perkampungan yang ditempatinya tidak pernah dikosongkan sampai
masuknya Belanda dan tempat tersebut tetap diperintah oleh raja Pambauang.
PERJANJIAN SAQ – ADAWANG
Latar belakang diadakannya Perjanjian Saq-Adawang yang juga
dikenal dengan Assamaturuanna tomalluluareq di Sendana, adalah pemindahan ibu
kota kerajaan Sendana dari Saq-adawang (sebuah gunung di sebelah timur Puttada)
ke Podan (daerah pesisir pantai yang masuk daerah desa Sendana sekarang),
dengan alas an bahwa pada saat itu daerah pesisir sudah dianggap cukup aman.
Sejak saat itulah, ibu kota kerajaan Sendana pindah ke daerah pesisir pantai.
Puatta di Saq-adawang turun ke Podang sebagai pengampuh pemerintahan, sedangkan
kakaknya yang bernama Iputtaqdaq tinggal sebagai pengampuh adat di Saq-adawang
(kelak ketika wafat, tempat pemakamannya diabadikan dengan namanya dan itulah
daerah adat dalam status Pappuangang yang sampai sekarang dikenal dengan nama
Puttada.
Di
Podang, Puatta di saq-adawang dikenal dengan gelar Puatta di Podang dalam
jabata Paqbicara Kayyang.
Namun setelah Belanda datang, ibu kota kerajaan Sendana di pindahkan ke Somba
(kelurahan Mosso sekarang) dan susunan serta tata cara pemerintahan tradisional
menjadi kacau.
Intervensi
pemerintah Belanda mengacaukan tatanan dan mekanisme pemerintahan kerajaan.
Para raja dan hadat yang tidak mau tunduk pada Belanda disingkirkan lalu
digantikan dengan orang-orang yang sebenarnya yang tidak pantas menduduki
jabatan tersebut..
Perjanjian Saq-adawang terjadi pada sekitar abad X masehi dengan pihak-pihak
yang terlibat yaitu :
- Iputtaqdaq,
putra raja Sendana yang pertama.
- Daeng Palulung
- Tomesaraung
Bulawang
- Puatta di
saq-adawang, adik kandung Iputtaqdaq
Secara lengkap, dalam lontar
Pattappingang Mandar dijelaskan tentang latar belakang diadakannya perjanjian
atau kesepakatan ini.
Assamaturuanna Tomalluluareq di Saq-Adawang.
Apa digenaq diq-e tepumi salassaq, meanaq tomi tia Tomesaraung
Bulawang, tommuane napeanangang iyamo nisanga Iputtaqdaq. Meanaq bomi mesa
nigallarmi pattae di Saq-adawang, Puatta di Saq-adawang. Meanaq bomi mesa
towaine iyamo nisanga Petta pance. Apa gannaqmi appeq anaqna, daqdua tommuane
daqdua towaine mesa indo mesa ama. Mesa anaq tommuane iyamo nisanga Iputtaqdaq,
iya tomo tia bijanna adaq di Puttaqdaq. Adaq di Puttaqdaq mangaji kali
Puttaqdaq. Nauamo kakanna onisanga Iputtaqdaq maq-ua ; Naummoq-o di biring
bondeq luluareq Puatta Isaq-adawang apaq naupakayyangoq-o naung, maq-ala adaq-i
tau, nauamo adaq kayyang oniuanang Paqbicara kayyang di Sendana.
Terjemahan :
Kemudian lengkaplah keraton di Saq-adawang, beranak pulalah
Tomesaraung Bulawang, seorang putra yang diberi nama Iputtaqdaq. Melahirkan
lagi satu digelarlah Pattae di saq-adawang atau Puatta di Saq-adawang.
Melahirkan lagi satu perempuan dialah diberi nama Indara, melahirkan lagi satu
perempuan dialah yang diberi nama Patta Panceq. Maka cukuplah empat orang
anaknya, dua laki-laki dan dua perempuan seibu sebapak. Satu anak laki-lakinya
yang bernama Iputtaqdaq, dialah juga yang menurunkan keturunan adat di
Puttaqdaq, adat di Puttaqdaq mengaji kali Puttaqdaq. Maka berkata kakaknya yang
bernama Iputtaqdaq ; Turunlah ke wilayah pesisir pantai wahai saudaraku Puatta
Isaq-adawang. Saya akan besarkan engkau di sana. Kita akan bentu Hadat. Saya
akan menjadikan engkau hadat besar yang bergelar Paqbicara Kayyang di Sendana.
Gambaran umum profil orang Mandar dalam sebuah puisi berjudul ;
T O M A N D A R
Siriq nala modal
Petawa nala balanja
Ampe mapia napewongang
Loa Macoa Napejimaq
Rakkeq di Puang napetaeng
Maq-ammong tambaqbar loa tongang
Maasseq-i sipaq tau
Pau-pau dituqtia nisanga tau
Nawassiq disuwui
Natemaq dilohori
Napalandang diasari
Naola di magariq-i
Lumu pongngeqna
Petawa uliqna
Lemu issinna
Sayang buana
Meq-uwakeq di Pitu Ulunna salu
Mellorong di Lembang mapi
Membatang di Pitu Baqbana Binanga
Samba lino naola perrakkaqna
Bannang pute batanna
Tammasala taq-ena
Tammakkatu daunna
Eloq Puang nannasna
Sipalete diapiangang
Sipalewa diakadzakeang
Sipakaraya dipadzanna nipaqjari
Madzondong duambongi
Annaq diang mallet bassiq
Maq-ondongngi bala
Malliq-ai petawung
Manggesar pandulang
Manggoyai baruga
Marroyo-royong sarigang
Palippaq-i ewangang malawas
Alai awiasang diassimemangang
Letei Ulunna naga
Kokoi nganganna sawa
Papoi ringena kaneneq
Pemali nasallameq anu nasandappa
Terjemahan :
ORANG MANDAR
Siriq jadi modalnya
Tawa jadi belanjanya
Akhlak baik jadi bekalnya
Tutur terpuji jadi azimatnya
Taqwa pada Tuhan jadi senjatanya
Menggenggam erat tutur yang benar
Menjalin teguh sifat kemanusiaan
Tutur kata itulah existensi manusia
Dipolakan di waktu subuh
Dikerjakan di waktu duhur
Ditetapkan di waktu asar
Diamalkan di waktu magrib
Lembut pangkalnya
Tawa kulitnya
Kemanusissn isinya
Cinta kasih buahnya
Berakar di Pitu Ulunna salu
Menjalar ke Lembang Mapii
Berbatabg di Pitu Baqbana Binanga
Seluruh dunia dijelajahi
Benang putih jasadnya
Sembarang tangkainya
Tak berpantang daunnya
Takdir Tuhan terasnya
Saling membimbing pada kebaikan
Saling membantu menghindari keburukan
Saling hormat dengan sesame manusia
Besok atau lusa
Bila ada yang injak batas
Melompati pagar
Melangkahi pematang
Menggeser landasan tiang
Menggoyahkan pendopo
Meroyong Sarigang
Ledakkan meriam panjang
Amalkan kebiasaan adat leluhur
Injaklah kepala naga
Teroboslah mulut ular
Cabut habis gigit buaya
Pantang akan sejengkal
Apa yang memang akan sedepa.
Daftar
Kepustakaan
1. Abdul Muttalib ;
Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI,
Jakarta 1977.
2. Ibrahim, MS ;
Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X,
Tinambung Polmas 1977.
3. H. Saharuddin ;
Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah
di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.
4. Ahmad Sahur ;
Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang
1975.
5. Drs. Suradi Yasil
dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang
1982
6. Drs. Suradi Yasil
dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar – Proyek IDKD
Sulsel 1985.
7. A.M.Mandra ;
Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987
8. A.M.Mandra ;
Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.
9. A.M.Mandra ;
Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan
Saq-Adawang, 2000.
10. Abd.Razak, DP ;
Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.
Sumber Data
Sumber tertulis ;
1.
Lontar Balanipa Mandar
2.
Lontar Sendana Mandar
3.
Lontar Pattappingang Mandar
4.
Lembar Perjanjian kuno
5.
Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar
Sumber Wawancara
;
1.
H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan
Budayawan Mandar
2.
Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar
3.
Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar
4.
Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar
5.
Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar
6.
Daeng Matona – Hadat Pamoseang
7.
Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq
Tentang Editor
Adi
Ahsan, S.S.M.Si.
Lahir di Majene, 12 April 1973 anak ketiga dari empat bersaudara
dari pasangan Syarifuddin Mandra (alm) dan Dewiati (alm). Memulai jenjang
pendidikan di SD Inpres Pappota Majene, Pesantren IMMIM Tamalanrea Makassar,
Madrasah Aliayah DDI Pare-Pare, kuliah di Universitas Hasanuddin Makassar (S1)
1992-1999, dan Program S2 (Pasca Sarjana) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta
2003 – 2005.
Beberapa Kegiatan dan organisasi telah digeluti sejak menjadi
mahasiswa di Universitas Hasanuddin termasuk aktif menulis buku dan bergelut di
dunia jurnalistik sampai pada kegiatan advokasi hak-hak masyarakat di wilayah
Sulselbar secara umum, Majene secara khusus. Salah satu hasil nyata yang telah
ditorehkan untuk perkembangan ilmu di kabupaten Majene adalah menjadi inisiator
atau pendiri Perpustakaan daerah kabupaten Majene tahun 2006. Sekarang masih
aktif pada advokasi hak masyarakat dengan menjadi pendiri sekaligus menjadi
Koordinator Umum Lembaga Pemerhati Hak Azasi Manusia (LP-HAM) sejak tahun 1998.
Opy.
MR.
Lahir di Somba 4 September 1965 dengan nama lengkap
Muh.Tabritafif, anak ketiga dari pasangan Abd. Muis Mandra dengan Hapipa.
Memulai pendidikan di SDN 3 Somba, SMPN Somba dan SMA Negeri I Majene tahun
1986.
Menjadi tim penulis Transliterasi Lontar Mandar antara
lain ; Transliterasi Lontar Pattappingang Mandar, Assitalliang di Mandar, serta
buku Sejarah Perjuangan Mandar.
Beberapa buku sudah ditulis antara lain ; Nyanyian Rindu (Buraq
Sendana), Mandarraq (Tonisesseq di Tingalor), Permainan Tradisional Rakyat
Mandar serta kumpulan Puisi dalam bahasa Mandar.
Comments
Post a Comment